Rabu, 26 Juni 2013

Kakek dan al-Fatihah yang Tak Lengkap

Jelas ini bukanlah sebuah cerita besar seperti dalam buku-bukunya Dand Brown, atau serupa kisah Titanic yang katanya bikin boros tisu itu. Ini sekedar kisah kecil dari bagian hidupku yang paling sederhana. Aku tak membaca buku apapun ketika menulis ini. Deret buku filsafat, sastra, agama dan lainnya yang berbaris di rak seketika menjadi tak berguna. Entah kenapa. Hanya potret lusuh dan ingatan beberapa pertemuan dengannya yang membuat kisah ini selesai ku tulis.

Dia adalah kakekku, Mbah Carim namanya. Aku berani bertaruh, Anda pasti tak mengenalnya. Jelas. Ia bukanlah orang besar; Ia bukan seorang politisi yang gambarnya bisa Anda liat tiap persimpangan jalan; Ia juga bukan artis yang mendapat ekspos besar-besaran hanya karena bulu mata dan jambulnya yang abnormal. Mbah Carim hanyalah seorang pedagang kecil. Jika kehidupannya di filmkan, mungkin akan mirip reality show tentang orang miskin yang akhir-akhir ini mulai nge-tren di TV dan mendapat rating yang cukup bagus. Ini nampak tak aneh, mengingat kemiskinan barangkali adalah satu-satunya hal yang paling dimengerti oleh masyarakat kita. Tapi ingat, cerita kakek ku bukanlah cerita sedih atau yang yang disedih-sedihkan. Anda tak diwajibkan menyiapkan tisu saat membaca tulisan ini. Karena bagaimanapun, Ini hanya cerita sederhana antara Aku dan kakekku. Dan seperti pertanyaan dari tema besar tulisan ini: Apa yang akan Kau persembahkan kepada orang yang kau kasihi? Aku hanya teringat Kakek dan satu hal yang tak selesai ku berikan padanya: Surat al-fatihah.

Entah bagaimana memulai cerita tentang hal yang tak benar-benar menjadi perhatianku. Kakek bukanlah orang yang sering Aku ajak ngobrol. Kuantitas pertemuan dengan kakek dalam satu minggu tak lebih sering dibandingkan kuantitas membuka akun Facebook. Ini menjelaskan bahwa Aku tak memiliki hubungan spesial dengannya. Aku hanya merasa kakek adalah orang yang kebetulan menjadi ayah dari orang tuaku, Ibu. Selebihnya tak ada: Aku memiliki kehidupanku sendiri, begitupun kakek.

Biasanya Aku ada di rumah ketika hari Sabtu dan Minggu. Sisanya Aku habiskan di asrama kampus oleh berbagai kegiatan kuliah dan komunitas. Di hari itu biasanya Kakek datang ke rumahku. Kebetulan rumahnya dan rumahku hanya dipisahkan sepetak tanah kosong dan tiga rumah tetangga. Seperti biasanya, ia mengenakan kaos putih polos dengan sarung kotak-kotak yang kadang tak simetris. Tak lupa, dia membawa satu bungkus gula batu dan teh. Sesampainya di rumah, ia selalu memintaku membuatkan teh manis dengan gula-teh yang ia sudah bawa. Tentu dengan pengantar yang selalu sama seperti pertemuan yang sebelumnya, “ning umah langka banyu panas, jaluk banyu ya, sekalian digawenang ‘di rumah tidak ada air panas, minta ya, sekalian dibuatin’ ”, pintanya dengan bahasa dan logat jawa yang masih kental. Maklumlah, kakek adalah seoarang keturunan jawa asli. Beragamnya daerah perantauan sepertinya tak membuatnya lupa dengan kampung halaman, terlebih bahasa ibunya. Setelah itu, sembari menikmati teh manis yang sudah Aku buatkan, ia menanyakan banyak hal tentangku. Dari kuliahku sampai ke hal-hal yang sederhana. Ia memang lebih suka mendominasi pembicaraan dengan lawan bicaranya. Setiap ada kesempatan bertemu dan berbicara denganku, ia lebih suka bercerita kehidupannya. Kadang ada bagian-bagian yang ia ulang. Ini membuat setiap pertemuan dengannya sedikit membosankan. Aku hanya merespon dan menjawab pertanyaannya dengan alakadarnya. Mungkin setiap manusia yang sudah tua akan menjadi seperti ini: membosankan dan suka bicara. Ditambah lagi, pendengaran kakek kurang baik. Terkadang Aku harus meninggikan nada suaraku ketika berbicara dengannya. Sungguh alasan yang kuat untuk membuatnya tak menarik sama sekali dijadikan teman ngobrol. Selain itu, ia mempunyai kebiasaan yang membuatnya terlihat asik sendiri hingga melupakan sekitar: Ayam dan keris. Setiap hari, jika bukan ayam yang di elus-elus, ya kerisnya itu. Barangkali ini yang membuat istrinya, almarhum nenek, dulu sering jengkel dan marah. Kalo meminjam bahasa orang pacaran, ini sejenis cemburu mungkin. Bagaimana tidak, kakek lebih suka memperhatikan ayam dan kerisnya ketimbang nenek. Kalo ayam dan kerisnya setiap pagi ia mandikan, tetapi nenek ditanya pun tidak. Suatu ketika, saat nenek masih hidup, Aku mendengar nenek marah ke kakek mengenai itu, “kalo ayam tiap hari di urusin, sampe dimandiin segala …, tapi istrinya gak pernah diperhatiin”. Kemudian Kakek menjawab seolah tanpa beban, “ya kalo kamu kan bisa mandi sendiri, tapi kalo ayam kan gak. Kalo kamu mau dimandiin juga, jadi ayam saja, nanti saya yang mandiin”. Aku yang mendengar jawaban kakek yang setengah bercanda itu hanya tertawa. Mungkin hal tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat jawa. Melihara ayam aduan dan mengoleksi keris menjadi hal yang wajib, se-wajib anak muda sekarang untuk upadate status. Dan satu hal yang membedakan kakekku dengan kakek-kakek yang lain: percaya atau tidak, ia seorang playboy. Entah imbas dari apa, setiap daerah perantauan yang ia kunjungi, kakek selalu dapat istri. Saya adalah cucu dari istrinya yang ke dua. Kesimpulannya, kakek bukanlah sosok yang kisah hidupnya patut dijadikan suri tauladan.

Tapi bukan berarti hidupnya tak berarti. Setelah ia meninggal, ada satu hal yang benar-benar saya dapatkan darinya, sekalipun dengan segala keterbatasannya, ia tak pernah bisa mengatakannya padaku. Menghafal al-Fatihah Satu momen yang tak pernah bisa Aku lupakan: Kakek memintaku diajarkan shalat. Entah ‘wahyu’ macam apa yang datang padanya di usianya yang berkepala enam itu. Setahuku kakek selalu memiliki pandangan lain tentang ke-islamannya itu. Ia memang sedikit terpengaruhi oleh ajaran kejawen (harmonisasi dari kebudayaan jawa dan islam). Banyak mantra-mantra jawa yang ia hafal. Katanya itu adalah warisan turun temurun dari pendahulunya dan berhulu pada ajaran Sunan Gunung Jati. Jika dilihat dari redaksinya, mantra-mantra itu adalah hasil dari islamisasi syair-syair jawa. Tapi kita tahu, shalat tak memakai mantra-mantra jenis itu. Minimal kakek harus hafal surat al-Fatihah yang merupakan salah satu rukun shalat. Entah apa saja yang sudah dilakukan kakek semasa mudanya, banyak mantra yang dihafal tetapi al-Fatihah saja ia tak tahu, lebih-lebih hafal. Di sela-sela kesibukan, Aku mengajarinya dasar gerakan shalat dan tentu mengajarinya juga surat al-Fatihah. Seingatku waktu itu baru dua ayat pertama yang berhasil kakek hafal, itu pun menghabiskan waktu lebih dari sebulan. Maklum, masa tua adalah masa-masa sulit untuk mengingat. Pelupa. Akhirnya hingga kesehatannya memburuk, ia tak pernah sempat lagi menghafalkan sisa ayatnya. Semakin hari kesehatan kakek semakin memburuk. Dari asma hingga rematik, sampai penyakit yang namanya sulit Aku hafal pun kakek idap. Boro-boro melanjutkan sebagian hafalannya itu, untuk mengatur nafasnya sendiri saja nampak kesusahan. Ia hanya terkulai di atas ranjang tua itu. Hanya terdengar suara mirip ketika memompa ban saat ia bernafas. Seminggu atau sebulan sekali Aku ke rumah kakek untuk menengok. Biasanya bibiku, anak terakhir dari kakek, yang suka menyuruhku pulang jika ada keperluan mendadak mengenai pengobatan kakek. Ia menyuruhku agar bisa intens membantu merawat kakek. Jelas itu tak mungkin mengingat seabrek kegiatanku di kampus.

Kematian Kakek

Selalu ada yang luput untuk dipahami, sedangkan waktu membatasi banyak hal dalam hidup: Rambut yang memutih, tubuh yang membungkuk, dan kulit yang kian keriput. Semuanya bergegas. Bergerak. Karena hidup memang butuh perubahan: Mengutuk diam dan keabadian. Dan waktu mengantarkan banyak hal sampai pada batasnya: Menua, lantas mati! Kematian jelas tak bisa disangkal. Berita kematian kakek kudapatkan dari bibi. Dengan suara serak menahan tangis ia menelponku. Ada rasa aneh dan sesak yang ku rasa. Tidak sesederhana seperti rasa sedih. Ada sesal yang berbeda yang biasa ku rasakan. Tapi entah apa. Setelah mematikan HP, Aku langsung bergegas pulang. Sepanjang jalan ku berharap bisa menghadiri pemakaman dan bisa melihat wajahnya yang terakhir.

Saya menuliskan cerita ini di hari ke-delapan kematiannya. Mungkin sesuatu menjadi nampak lebih berharga hanya pada makna kematian. Obrolan, rutinitas bahkan keberadaannya yang selalu luput dari perhatianku kini mendadak menjadi rindu. Kematian selalu meninggalkan jejak-jejak sederhana namun absurd. Di sela-sela kesibukanku, ketika sekilas ku ingat sosoknya, tak ada yang benar-benar ingin ku berikan padanya selain sisa dari hafalan al-Fatihah miliknya.[]

Cirebon, 21 Desember 2012

Sastra dan Sebuah Kampanye kewarasan

Acara Bedah buku puisi dan cerpen, Istri tanpa cerulit dan sakarotul cinta yang ditulis oleh Bode ruswandi dan Kyai Matdon, kamis (27/9), bertempat di Aula Unswagati Cirebon, banyak mendapat apresiasi, khususnya oleh mahasiswa sastra dan bahasa Indonesia Unswagati cirebon. Acara yang digagas oleh komunitjavascript:void(0);as Rumah kertas, bekerja sama dengan HMJ DIKSATRASIA Unswagati, menghadirkan tiga pembedah, yakni Jimat Susilo, S.Pd., M.Pd., Bunyamin Faisal, S.S., M.P.d., (keduanya Dosen Sastra Unswagati), dan Fathan Mubarak (Pegiat Komunitas Rumah Kertas). Acara tersebut dibuka oleh pembacaan puisi oleh kiyai Matdon.

Apa yang dibacakan oleh Matdon barangkali tak sebatas sebuah puisi. Ia adalah indikator, potret, ataupun cerminan dari realitas. Sebuah gambaran dunia yang tumpang tindih antara kebaikan dan keburukan, halal dan haram, moralitas dan amoralitas. Bode Riswandi menyebutnya zaman yang menganut “anjingnisme holik”, Matdon menerjemahkannya sebagai zaman Sakarotul cinta. Sedangkan Fathan menjulukinya sebagai zaman yang sudah tak waras. Bagaimanapun merumuskannya, dunia kini memang nampak tengah mengkampanyekan ketakwarasan, irasionalitas, dan kebebalan.

Di sinilah sastra mendapat ruang yang signifikan sebagai potret dari realitas ketika sesuatu yang tak waras kini digandrungi, dianut, dan nampak wajar. Kenapa Matdon, kenapa Bode? setidaknya mereka orang-orang waras di tengah dunia yang tidak waras, kata Fathan. Ini seolah membenarkan apa yang dikatakan oleh F. Budi Hardiman. Ia menyebutnya peleburan kolektif: bahwa ketakwajaran akan mungkin bisa nampak wajar ketika sudah menjadi milik kolektif.

Ini lah era ketika kontradiktif menjadi trend, ambigu menjadi budaya, dan kebingungan menjadi buming. Sehingga dunia dengan segala persoalannya menjadi sesuatu yang rumit, serupa lukisan Tuhan yang gagal dan dibiarkan tergeletak di atas lantai. Namun, Walaupun ketiga pembedah memiliki tafsir yang berbeda, mereka membicarakan subtansi yang sama: Sebuah teks tentang perayaan ketakwajaran. Puisi dan cerpen dari kedua penulis tersebut dianggap berhasil menggambarkan ketidakwarasan yang terjadi dalam hidup. Teks-teks tersebut merupakan perayaan atas omong kosong, ketidak mungkinan dan berbagai hal lainnya yang seolah hanyalah imajinasi liar yang tak masuk akal, namun terjadi dalam realitas. Seperti yang dikemukakan Fathan, hidup memang dibangun dari satu nonsense ke nonsense berikutnya, dan kedua penulis tersebut, melalui karyanya, berhasil merangkum nonsense dengan indah dan memukau. Paling tidak, acara bedah buku tersebut, yang juga diramaikan oleh pembacaan puisi dan pementasan musik, adalah sebuah penegasan; Bahwa sastra bukanlah sebuah dagelan atau komoditas popular yang sekedar menjadi pelipur lara. Namun, sastra adalah bentuk perlawanan terhadap realitas yang absurd atau seperti yang diteriakan mereka bersama, sastra adalah sebuah kampanye kewarasan. Dan, dengan nada berbisik, kedua karya tersebut seolah mengajak kepada kita semua: Ayo, acungkanlah jari tengah untuk hidup ini!

Pause!: Sastra, Potret Masyarakat dan Rumah Kertas


.:Sebuah Pers Release acara bedah buku, Komnitas Rumah Kertas. Terbit di Kabar Cirebon. tanggalnya lupa. heee


sastra barangkali serupa tombol pause yang bisa kita tekan ketika adegan kehidupan begitu rumit namun menuntut untuk kita pahami.

Barangkali, kehidupan masyarakat memang ‘gaib’ dan penuh kejutan: Penggusuran, demonstrasi, pengeboman, Pilkada, tawuran, pengrusakan, pembantaian, dan lainnya silih berganti menjadi tajuk media. Kabar baik dan buruk tumpang-tindih, mencipta alur yang rumit dan kacau, liar dan sukar dipahami. Juga seperti kata seorang pakar, masyarakat serupa kumpulan noktah yang sulit dimengerti. Mereka hadir dengan ragam masalah yang tak beraturan, anti klimaks, irasional dan kadang lebih absurd dari cerita fiksi manapun.

Lantas, bagaimana mengais hikmah dari berbagai fenomena masyarakat yang kadang banal dan penuh kejutan itu?

Karenanya, dalam setiap keriuhan, mesti ada sunyi agar ia terpahami. Inilah yang oleh Prie G.S disebut perenungan yang mendesak. Prie seolah meyakini bahwa silang sengkarut permasalahan masyarakat, setidaknya bisa diminimalisir jika kita memiliki satu ‘ruang’ yang intim untuk memaknai dan merenungkan segala peristiwa yang terjadi. Entah kita mesti setuju atau tidak, namun pada dasarnya, setiap fenomena masyarakat, mau tidak mau, akan menuntut sebuah pemaknaan. Pada koordinat inilah, sastra menemukan eksistensinya sebagai sebuah teks yang menawarkan ruang-ruang sunyi, sebagai tempat untuk merefleksikan, mengendapkan, memotret, dan memaknai segala fenomena masyarakat yang terjadi dan luput dari teks-teks lainnya. Oleh karena itu, apresiasi terhadap karya sastra menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Atas kesadaran tersebut, Komunitas Rumah Kertas, yang merupakan sebuah dunia alternatif dan tempat pengembangan kreatifitas anak-anak muda, akan mengadakan apresiasi karya sastra berupa launching buku antologi puisi Sakrotul Cinta karya Kyai Matdon (Majelis Sastra Bandung) dan buku antologi cerpen Istri Tanpa Cerulit karya Bode Riswandi (Tasikmalaya). Acara yang akan digelar pada hari Kamis, 27 September 2012 dengan mengusung tema Potret Masyarakat dalam cerpen dan Puisi itu merupakan sebentuk ikhtiar guna menghadirkan ruang-ruang perenungan yang hilang, serta rasa optimis untuk menawarkan pemaknaan atas teks sastra (puisi dan cerpen) yang merupakan potret dari kehidupan masyarakat. Hasil telaah dan pemaknaan yang menarik akan mungkin bisa kita dapatkan dari tiga ‘pembedah’ yang akan hadir pada acara yang digelar di Aula Grawidiya Husaba, kampus I Unswagati Cirebon. Mereka adalah Jimat Susilo, S.Pd., M.Pd., Bunyamin Faisal, S.S., M.P.d., (keduanya Dosen Sastra Unswagati), dan Fathan Mubarak (Pegiat Komunitas Rumah Kertas).

Dan sulit dipungkiri, bahwa sastra barangkali serupa tombol pause yang bisa kita tekan ketika adegan kehidupan begitu rumit namun menuntut untuk kita pahami. Sehingga, itu semua seolah memaksa kita untuk mengulangi apa yang sudah di katakana oleh Habibie, bahwa memang, kita masih bisa hidup tanpa ilmu pengetahuan, namun tidak tanpa sastra. Karena bagaimanapun, dalam segala kekacauan, silang-sengkarut, dan riuhnya realitas, selalu ada yang mesti direnungkan. Barangkali, kita akan selalu membutuhkan tombol Pause dalam hidup ini; tekan! Renungkanlah! Sebelum semuanya berlalu dan kita pun lupa.

Cyberpublic Space: Sebuah Ruang Alternatif

Globalisasi, kemajuan, modernitas atau apapun namanya menjadi ruang baru bagi seluruh kehidupan manusia, terlebih dari bidang yang satu ini: Internet.

Di sadari atau tidak, internet bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi manusia. Saya jadi ingat sebuah iklan yang telah lalu__iklan program pemerintah untuk mengenalkan internet kepada masyarakat desa__karena katanya internet adalah barang yang canggih, seorang pengembala dengan polos bertanya, “Kalo gitu, internet bisa nyari kambing saya yang ilang, dong?”, iklan itu pun diakhiri dengan gelak tawa. Tapi itu dulu. Kini internet sudah menjadi kebutuhan dasar manusia dari berbagai kalangan, termasuk pengembala sekalipun. Terlebih dengan banyak hadirnya aneka jejaring sosial yang menggelitik syaraf eksistensi kita. Sebut beberapa contohnya: ada Facebook, Twitter, BBM, YM, dan tentu masih banyak lagi. Internet, dengan berbagai jejaring sosialnya kemudian menjadi ruang yang hangat untuk saling sapa, curhat, tukar pendapat, berdebat, dan bentuk komunikasi lainnya. Internet lambat-laun menjadi ruang publik baru dengan dimensi virtual (Cyberpublic Space) yang dianggap bisa menggantikan ruang publik yang sebenarnya.

Tentu kita semua tahu, manusia butuh ruang publik. Dengan segala kepenatan rutinitasnya__tekanan kerja, politik ataupun sosial__manusia selalu butuh ruang yang segar, yang memungkinkan adanya interaksi dengan lingkungan atau orang baru: sekedar untuk bercakap, tegur sapa, merenung, bersantai, berkumpul atau sebagainya. Dan ketika di dalam realitas, keberadaan ruang publik yang mampu mengakomodir kebutuhan dasar manusia untuk berkomunikasi atau semacamnya tidak ada, manusia akan mencari alternatif lain. Inilah yang membuat banyak orang berbondong-bondong masuk ke dunia maya dengan berbagai pilihan ruang mayanya (Cyberspace). Jejaring sosial kemudian menjadi sesuatu yang diminati banyak orang.

Simak bagaimana arus informasi begitu cepat dilahap oleh pengguna jejaring sosial. Kasus pernyataan Anas Urbaningrum yang mau digantung di monas misalnya, dalam hitungan detik beragam komentar mengenai hal itu bermunculan di ruang virtual ini. Ada yang lucu, cerdas, kreatif, jujur, ceplas-ceplos, dan sebagainya. Di ruang maya ini kita mendapat kebebasan mutlak untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan apapun. Dalam kehidupan nyata, Cyberspace menyuguhkan metode-metode katarsis yang canggih, melepaskan diri dari tekana kerja, politik, sosial, dan tekanan hidup lainnya dengan penjelajahan psikososial tanpa batas untuk menemukan diri dan identitas ‘utopis personal’ yang tak mungkin ada di dunia nyata. Cyber-katarsis ini memungkinkan ‘onani’ identitas dan eksistensi yang melimpah-limpah namun semu. Pada tahap ini, memang keberadaan cyberspace seolah mengambil fungsi dari ruang publik yang dulu kita kenal. Namun karena wataknya yang bebas tanpa batas, selain membawa harapan, kehadirannya tentu mengundang juga kekhawatiran. Jika berangkat dari kekhawatiran, kita akan menemui sejumlah pemikir sosial yang menandaskan bahwa cyberspace telah menggiring kepada suatu kondisi ekstrim kematian sosial (Death of Social) (Piliang, 2005).

Pada tataran individu, cyberspace meniadakan perbedaan antar individu, di mana setiap orang dapat menjadi orang lain dalam waktu yang sama, yang secara mendasar berarti telah mencerabut identitasnya, menggantinya dengan diri yang terbelah (devided self). Selain itu, tidak adanya struktur otoritas dalam ruang maya ini, membuat kita semua bebas menggelontorkan pendapat, pernyataan, atau berbagai sombol-simbol lainnya. Terkadang, ruang publik inipun berubah menjadi ruang fitnah, caci maki, penipuan, penghinaan, dan banyak lagi. Tetapi pada titik lain, tentunya kita masih penuh harap seperti halnya Habermas dalam memandang hal tersebut. Bahwa ruang publik berpijak pada asumsi bahwa konsesus yang universal dan bebas dari dominasi adalah kehendak fundamental dari hubungan sosial. Dengan bahasa lain, kita dan barangkali habermas, berkeyakinan bahwa hubungan sosial yang efektif terjadi ketika masih adanya ruang publik yang kondusif dan bersih dari dominasi apapun. Inilah yang memungkinkan terciptanya masyarakat reflektif yang kita cita-citakan. Habermas mengandaikan bahwa konsesus semacam itu bisa dicapai dalam masyarakat yang reflektif (cerdas) yang mampu melaksanakan komunikasi secara memuaskan. Masyarakat reflektif ditandai dengan ruang publik yang terbuka, dapat diakses dan memungkinkan partisipasi publik yang luas. Berdasarkan kerangka habermesian tersebut, jejaring sosial menyediakan ruang-ruang ideal untuk komunikasi yang memuaskan macam itu: otentik, terbuka, dan demokratis. Karena itulah, setiap isu yang bergulir akan menjadi bulan-bulanan masyarakat cyberspace tanpa ampun dan tanpa batas. Namun, hal ini masih menyisakan problem kesahihan atau kebenaran. Sehingga terkadang ide atau pendapat yang dikemukakan berpotensi menjadi fitnah atau hinaan. Problem ini berangkat dari dunia citra yang dibangun secara artifisial yang memungkinkan orang untuk menipu ataupun memalsukan apapun yang disampaikan dalam dunia cyber. Di titik ini, kesahihan atau kejujuran dari masyarakat cyberspace menjadi problematis.

Problem kesahihan ini sebenarnya akan terselesaikan seiring meningkatnya kemampuan dan kesadaran masyarakat dalam menggunakan internet (e-literacy). Karakter terbuka dalam cyberspace memungkinkan tiap argumentasi yang dilontarkan terbuka terhadap segala kritik sehingga sebuah diskursus akan mendapat legitimasinya melalui proses kritik dan konsesus panjang yang dilaluinya secara terbuka. Setiap diskursus akan mendapat anti diskursusnya secara bebas. Setiap user yang sudah literatif (cerdas) akan mampu mencermati proses diskursif ini, menentukan mana yang abash dan jujur serta mana yang tidak, untuk kemudian mengambil keputusan tertentu. Jika kemampuan literatif tersebut sudah merata di kalangan user, maka sebenarnya telah tercipta ruang publik seperti yang di idealkan oleh Habermas. Sebagai tekhnologi, internet dengan cyberspace-nya adalah keniscayaan zaman yang tidak bisa ditolak, lengkap dengan petaka dan berkah yang dibawanya. Alih-alih terus mempersoalkan pornografi, kekerasan, alienasi dan berbagai dampak negatif cyberspace yang biasanya akan berujung kepada keletihan-keletihan gagasan, jauh lebih progresif kita mencari harapan-harapan apa yang bisa ditanam. Salah satu harapan itu adalah cyber-public spaces yang mensyaratkan adanya masyarakat yang literatif dalam mengarungi dunia cyber. Persoalan selanjutnya, selain mensyaratkan yang literatif, kondisi-kondisi apa lagi yang harus tercipta agar cyber-public spaces ini benar-benar menjadi berkah, bukan bencana? Jika hal itu sudah terwujud, pertanyaan mendasarnya, apakah keberadaan cyber public spaces ini memberi manfaat bagi kehidupan kita di dunia nyata? []

Filsafat dan sebuah euforia kekonyolan

Bagaimana memulai keraguan tanpa sebuah pertanyaan?, ... dan kekonyolan akan selalu di akhiri oleh kekonyolan lainnya.

Di jaman sekarang, apa yang mesti kita puji dari seorang yang bersikukuh bahwa air adalah subtansi dari segala sesuatu, atau seorang filsuf lain yang menghabiskan hidupnya untuk melakukan permenungan, kemudian pada konklusi akhirnya menganggap hakekat manusia adalah sekedar materi; laku seksual; terlebih sebatas sebuah kehendak berkuasa. Hal tersebut lebih menyerupai kekonyolan, alih-alih sebuah hipotesis yang mampu menggetarkan saraf-saraf inteketual kita. Setidaknya hal tersebut sempat menyergap akal sehat saya: di era ketika segala sesuatu semudah menekan tombol, entah kenapa secara tak sadar saya menghabiskan beberapa hari sekedar untuk menjawab pertanyaan dari seorang teman, guna mencari korelasi antara orang buta dan eksistensi warna bagi dirinya. Bagaimanapun, itu adalah sebuah kekonyolan yang membuat saya sendiri merasa konyol. Nampak ada sebuah kegelisahan yang kemudian membuat manusia mulai mempertanyakan sesuatu. Hadirnya realitas dengan berbagai fenomena yang menggeiltik untuk dimengerti, sedangkan mitos dirasa tak lagi mampu menghadirkan jawaban-jawaban yang memuaskan, keresahan lantas hadir: manusia mulai bertanya tentang hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ditanyakan; tentang asal-usul alam, eksistensi Tuhan, bahkan hakikat kehidupan itu sendiri. Sejak saat itulah manusia mulai berfilsafat.

Kita semua sepakat, filsafat tidak lahir atas semangat optimistik dan kepastian yang mapan, ia nampak bergeliat dalam ruang gelap; meraba-raba, mencari titik pijak di atas berbagai keraguan. Ia tampil dengan raut pertanyaan yang kadang mengganggu akal sehat kita__saya sebut itu sebagai sebuah kekonyolan, yang pada hakekatnya kerap merindukan sebuah kebenaran; walaupun akan selalu berakhir menjadi kebenaran yang konyol tentunya. Kebenaran menjadi sesuatu yang diimpikan oleh filsafat dan menjadi bahan baku untuk menciptakan sebuah kebijaksanaan. Namun pada realitasnya, hadirnya kebenaran universal hampir menjadi utopis untuk kemudian dijadikan pakem nilai bersama, terlebih jika sekedar dogma moralitas (agama) yang dijadikan sandaran__mengingat agama memilki potensi direlatifkan dalam hal pemahamannya (multiinterpretasi). Konskuensinya, proses filsafat hanya mungkin dipahami sebagai sebuah proses panjang menciptakan sebuah ‘kebenaran’ (kekonyolan) yang selanjutkan akan dekonstruksi oleh ‘kebenaran’ (kekonyolan) yang lain, dan begitu selanjutnya. Hal tersebut jelas mengafirmasi tentang pentingnya kesiapan mental kita untuk menemukan cara kita berfilsafat, sebelum larut dalam kekonyolan-kekonyolan yang ditawarkannya, kecuali kita pasrah untuk turut menjadi konyol karenannya.

Cara Kita Berfilsafat Meskipun karya-karya filsafat sering misterius dan tidak dapat dimasuki, metode yang digunakan untuk menciptakannya sering benar-benar sederhana dan dapat dengan cepat dikuasai dan diangkut untuk menunjang pemikiran kita. Namun untuk banyak orang, filsafat tetaplah merupakan bongkahan-bongkahan teori yang alot dan membosankan. Itu semua bergantung dengan cara bagaimana kita mengenal filsafat. Berfikir secara rasional melibatkan pengerahan perangkat filosofis secara benar pada saat yang benar, maka munculah pisau cukur Ockham, Garpu Hume, atau perangkat lain dari kotak pemikir para filsuf. Amal jariyah terbesar dari filsuf-filsuf besar adalah alat-alat berfikir, metode dan pendekatan yang mereka ciptakan dan temukan yang sering hidup melampaui teori dan sistem yang mereka bangun, atau hal-hal yang mereka bongkar dengan alat itu. Sehingga kita tidak hanya berkutat dan terjebak pada apa yang filsuf besar pikirkan, melainkan juga memahami tentang bagaimana mereka berpikir. Hal tersebut jelas akan membuat kita tidak menjadi orang konyol dan sekedar pemulung ide-ide usang, terlebih hanya sebagai penghafal teori yang selalu gagap ketika harus menghadapi realitasnya sendiri. Mampu menerapkan tekhnik berfilsafat adalah sebuah sokongan besar dalam memahami suatu doktrin terbesar dari penganjur-penganjurnya. Seseorang tidak mesti mengetahui tekhnik bergitar untuk menikmati suara gitar, namun cara kita memahami teori filsafat sangatlah berbeda dengan kita menikmati musik. Sehingga berfilsafat jelas tak sekedar menghafal kekonyolan-kekonyolan yang diciptakan oleh filsuf, walaupun kita sepakat bahwa orang yang bersikeras mengajari orang buta (sejak lahir) tentang warna akan nampak lebih konyol dari semua itu.

Untuk orang yang masih memiliki mata yang waras, warna akan menjadi sesuatu yang setidaknya dikenal dan sangat gampang untuk diidentifikasi. Namun, akan menjadi sebuah ilusi bagi orang buta (sejak lahir), walaupun kita memaksanya untuk meyakini apa yang sebenarnya menjadi sesuatu yang sehari-hari kita lihat. Keawaman kita dalam menangkap atau sekedar meyakini sebuah kebenaran (dunia idea) akan sangat mewakili kesukaran orang buta terhadap warna. Hanya melalui cahaya filsafatlah, dengan berbagai kekonyolannya, sesuatu yang terlepas dari dunia forma (hakekat, subtansi, kebenaran ideal), akan sangat mudah kita raba, terlebih sekedar untuk meyakininya. Walaupun pada akhirnya, keyakinan orang buta terhadap warna tidak lantas membuat orang tersebut mampu melihat. Hingga kekonyolan terganti oleh kekonyolan lainnya, kebenaran akan menjadi ilusi dan gelap serupa dunia seorang yang buta. Pada akhirnya, marilah bersama kita merayakan kekonyolan.

Sabtu, 13 April 2013

Nyanyian Safari


Degup jantung Safari adalah getar dawai gitar bersama nyanyian-nya yang kian getir.
Nyanyian safari adalah bentuk lain dari ketakberdayaan. Suara paraunya luruh di antara rumah-rumah loteng, beton mall dan asap kendaraan. Namun safari harus terus bernyanyi, walau kemudian untuk dilupakan; setelah itu, semuanya kembali sibuk: mall-mall kembali ramai, walikota sibuk rapat, wakil rakyat sibuk nge-lobi, LSM sibuk membuat proposal. Lantas, Safari menghilang, ia lenyap bersama keriuhan dan mimpi-mimpinya yang kian subtil.

Warga Cirebon tak banyak mengenalnya. Mungkin karena pengamen 11 tahun itu bukanlah walikota atau wakil rakyat yang potret lugunya bisa kita temui di setiap per-empatan jalan. Namun, ia yang harus membetot senar nasibnya hingga larut, barangkali adalah potret kegagalan dari kinerja pemerintah kita.

Cirebon dengan kemegahan dan keriuhannya nampak mengilaukan kita. Hingga nasib safari dan keluarganya tak lebih dari noda kecil di sela kemilau etalase yang berjejer di sepanjang jalanan Cirebon. Atau mungkin safari tak lagi dipandang sebagai sebuah masalah. Ia memang harus ada. Karena kota yang besar dan sukses, barangkali, selain diramaikan oleh mall dan reklame, juga oleh pengamen.

Penghasilan ayahnya yang tak tentu sebagai tukang becak membuat ia terpaksa harus menunda tidur. Di jalan lemahwungkuk, di tempat ketika sekumpulan orang mengantri untuk makan, senar gitar dan lututnya bergetar. Letih. Mengharap ada sesuatu yang bisa dibawa pulang. Bisa dimakan.
Ia lahir di tanah Cirebon dan tinggal bersama keluarga di rumah 7 x 7 meter persegi berdinding gedeg. Namun nasibnya tidak ditentukan di sana, melainkan di kejauhan: oleh pasar dunia yang bergejolak, oleh persaingan para pemodal, oleh kontrak-kontrak politik birokrat, oleh proyek busuk wakil rakyat, dan mungkin, oleh mall-mall yang berdiri dengan congkak.

Apa daya Safari di sela jaringan raksasa tersebut?

Seperti saya, dia tak mengerti itu semua. Safari hanya hafal satu lagu dengan kunci gitar yang tak lengkap.
Ketika rasa lapar menggelepar, namun meja makan hanya menyisakan bau semut dan kecoa. Tak ada lain, safari mesti bernyanyi. Menerobos malam. Mengais derma yang mungkin tersisa untuknya; untuk adik-adiknya yang tengah perih menanti bapak pulang. Dan untuk ibunya yang tertidur resah di meja makan.

Safari adalah bopeng di balik kinclong-nya Cirebon: kerlip lampu, kemilau etalase, kilatan body kendaraan, dan warna-warni reklame adalah bedak yang terus menambal kecacatan wajah Cirebon.
Barangkali, Safari tak sekedar indikator dari keteledoran pemeritah, namun lebih dari itu, ia adalah pembuluh halus yang menantang kepekaan saraf kepedulian kita.

Setelah kemarin kepingan receh kita beri, Safari tidak selamanya lenyap. Ketika malam mulai larut__di saat wali kota, bupati, wakil rakyat, dan kita semua sudah terlelap tidur__safari mulai bernyanyi, tentang kelam dan perih. Semestinya, safari dan nyanyian hidupnya, adalah sesuatu yang lebih buruk dari segala mimpi buruk kita. Membuat kita mesti terjaga. Resah. Namun tidak, malam tadi dan malam-malam kemarin, kita semua terlelap tidur. Kita semua selalu nyenyak didendang suara parau dan denting gitar safari yang kian sumbang. []

Life of Pi: Sebuah Refleksi Keberagamaan

Life of Pi adalah sebuah Film, sekaligus kritikan halus terhadap keberagamaan kita.

Ia sama seperti kita, Piscine Molitor Patel yang akrab dipanggil Pi, tokoh utama di film yang di sutradarai oleh Ang Lee itu, adalah seoarang yang haus dengan kebenaran; Mempertanyakan banyak hal demi mendapatkan keyakinan yang utuh. Hingga secara sadar ia kemudian memutuskan sesuatu: Ia menjadi muslim, kristiani, budhis dan sedikit yahudi.

Pi barangkali adalah sebuah sindiran telak tentang laku keberagamaan kita. Ia secara polos memparodikan keyakinan buta manusia terhadap suatu dogma yang kadang tak sepenuhnya kita fahami. Keyakinan buta yang kemudian membuat kehidupan agama begitu rigid dan menggerahkan. Kita sepenuhnya tahu, keyakinan yang terlampau diteriakan toh akan sama buruknya dengan sebuah keraguan. Tengok saja, sejarah kehidupan agama, dari 14000 tahun yang lalu hingga sekarang, selalu diwarnai dengan darah dan luka: Fenomena intoleransi, diskriminasi, serta kekerasan berbasis agama dan keyakinan terus meningkat setiap tahun di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia: Upaya-upaya penutupan, perusakan rumah ibadat, pelabelan sesat terhadap suatu komunitas, serta jatuhnya korban nyawa dan harta benda menjadi headline media massa sepanjang waktu: Kekerasan terhadap Alqiyadah al Islamiyah di Padang, penutupan, pengerusakan dan penyerangan masjid dan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat, rencana pembumi-hangusan komunitas Suku Dayak Losarang, Indramayu, Jawa Barat, dan dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur adalah sedikit contohnya; Tentu daftar ini masih bisa diperpanjang jika mau .... Lantas kita bertanya, kemanakah agama yang konon adalah jalan keselamatan bagi umat manusia itu? Dalam hal ini, Ignatius tahu betul bahwa motif beragama tidak lain untuk menolong jiwa-jiwa: Membuat rasa pasti di tengah kehidupan yang absurd. Karena bagaimanapun agama mirip dengan seni: membantu kita hidup secara kreatif, damai dan bahkan gembira menghadapi realitas yang tak tentu.

Hal itu menegaskan kepada kita bahwa beragama tak sesederhana menyulut dupa, menggelar sajadah, ataupun berdo’a di Minggu pagi. Ada hal lain yang melampaui itu semua dan menuntut untuk kita pahami. Bagian inilah yang mungkin ingin disampaikan oleh Life of Pi. Film yang separuh durasinya menggambarkan Pi yang terombang-ombing di tengah laut adalah, menurut saya, sebuah alegori bagaimana kehidupan berlangsung: Dikisahkan bahwa kapal kargo milik jepang, Tsimsum, yang disewa oleh keluarga Pi untuk mengangkut hewan-hewan dari kebun binatang milik keluarganya, karam ketika terjadi badai. Dari semua orang, hanya Pi yang selamat. Di sinilah kemudian keimanan Pi pada Tuhan di uji: Harapan, ketakutan, penyesalan, lapar, haus, sakit, kerinduan, serta putus asa campur-aduk di tengah kondisi yang tidak pasti. Di sekujur adegan inilah kita disuguhi, selain visual yang indah dan menyentuh, sebuah pergolakan religius yang subtil. Bagaimana kemudian, dengan jujur dan rindu-penuh terhadap sang kuasa, agama diperlakukan sebagaimana mestinya: digambarkan bahwa Pi, dengan segala keadaannya yang mengancam, mampu menemukan ketenangan batin dan memanfaatkan keadaan tersebut untuk merefleksikan segala sesuatu dalam dirinya : “... Dan saat aku berada di luar harapan untuk selamat, Dia memberi ku untuk istirahat. Bahkan saat ia tampak acuh tak acuh pada penderitaanku, Dia hanya menyaksikan. Bahkan saat Tuhan sepertinya menelantarkan ku, Dia hanya menyaksikan. Dan memberi ku tanda untuk melanjutkan perjalanan,” Ungkap Pi.

Mirip dengan yang pernah dikatakan oleh Henri de Lubac, Sj., seorang teolog asal Perancis, bahwa setiap manusia memiliki panggilan dari Tuhan untuk memahami iman dengan benar. Mencintai Tuhan sebagai panggilan personal dalam sebuah panggilan besar dimana semua ciptaan berbagi dan mengarah pada Tuhan: Wahyu membimbing pada realisasi yang lebih dalam. Sehingga, ketaatan menjadi lebih dari sekedar persetujuan tetapi menjadi wujud tanggapan cinta (a return of love). Itulah yang terjadi dengan Pi: Di tengah kondisi yang mengancam—harimau lapar, badai yang kapan saja bisa datang, terpaan ombak laut, dan sebagainya, ia masih bisa berdialog dan berdamai dengan sekitar. Di tengah segala tekanan dan ketakutan, Pi tahu betul bagaimana menghayati dan memfungsikan diri melalui agama. Kian banyaknya laku kekerasan yang mengatasnamakan agama disinyalir akibat rendahnya penghayatan dan pemahaman terhadap agama itu sendiri. Pada akhirnya, agama tidak lagi menjadi alat menuju Tuhan, ia justru telah dipertuhankan oleh umatnya: Seolah-olah apapun bisa dilakukan jika diberi label agama (Absolutisme), merasa paling mewakili Tuhan (Eksklusifisme), dan berbagai dalih lain yang fanatik dan egois. Sehingga, ketiak agama selalu menjadi tempat nyaman untuk melindungi kemalasan dan kebodohan manusia: Agama sebatas memburu pahala dan obsesi hingga darah dan luka. Akhirnya, hakekat agamapun tak pernah tersentuh: cinta kasih (Kristen), kebijaksanaan (Conficous), kesederhanaan (Hindu-Budha), serta rakhmat bagi seluruh alam (Islam) ….

Sebuah Pencarian Tuhan

Jelaslah, ketaatan dalam agama butuh pemaknaan yang serius. Intens. Meminjam istilah dari Ulil, ia adalah organisme yang hidup di sepanjang lekuk perjalanan waktu, bukan sebuah monumen suci yang haram untuk di jamah hingga akhirnya menganggap agama adalah resep ampuh yang sudah jadi dari tuhan dan karenanya, bisa menyelesaikan segala persoalan dalam hidup. Ringkasnya: sebuah ketaatan yang dangkal. Padahal, menurut J Nadal, SJ., Ketaatan itu menyangkut tiga daya: kehendak, pengertian (intelect), dan pelaksanaan; dan proses menjadi taat melibatkan ketiganya: Ketaatan yang melulu melaksanakan perintah-perintah secara lahir adalah paling rendah dan sangat kurang sempurna. Bahkan ketaatan semacam ini tidak pantas disebut sebagai keutamaan. Ketaatan yang wajar meningkat ke taraf kedua, yang membuat kehendak Pembesar menjadi kehendak sendiri. Kecocokan antara kedua pihak haruslah sedemikian rupa sampai tidak hanya menghasilkan pelaksanaan secara lahir, melainkan juga kesetujuan dalam batin. Oleh kedua-duanya sama yang dikehendaki, sama yang ditolak.” Hal itulah yang dipraktekan oleh Pi dalam film tersebut. Ia tentu bukanlah orang yang malas, terlebih untuk keyakinannya sendiri. Tengok: Pi besar dalam lingkungan yang heterogen; ayahnya atheis; Ibunya religious; kakaknya agnostis; dan tetangganya memiliki agama yang berbeda-beda. Hal tersebut membuat Pi banyak bertanya dan belajar dari segala perbedaan; Merenungi dan kadang larut dalam pencariannya. Itulah kenapa barangkali, Nadal bersikeras tentang pentingnya ikhtiar yang ia sebut “kontemplasi dalam aksi”: Sebuah momentum untuk berproses bersama keyakinan kita sendiri: Perayaan atas fluktuasi keimanan, larut dalam kontestasi kesolehan dan kekafiran, mengais hikmah di simpang theis dan atheis, ataupun khusyuk dalam ingar-bingar politheis. Itu merupakan ikhtiar kebertuhanan yang sesungguhnya, hingga kita akan mengerti betul tiap jengkal keimanan kita. Jika itu semua dilakukan dengan jujur dan sepenuh-hati, meminjam kalimatnya Franciscus Suarez, … inspirasi Roh Kudus akan menggerakkan dan mencerahkan jiwa dengan aneka caranya yang tak terbatas. Karena memang agama adalah kesunyian masing-masing. Pergulatan, penghukuman, perang dan sebagainya memang harus terjadi, namun bukan di luar, tapi di dalam diri. Karenanya kontemplasi, permenungan, penghayatan, dan apapun istilahnya, adalah bagian dari sebuah pencarian. Hidup memang serupa bentangan laut: badai, riak ombak, panas, dingin dan ancaman lainnya adalah segala hal yang mesti kita arungi, walau tanpa kompas dan navigasi. Setelah itu kita yang memilih: Terus berlayar atau mati.

Sepertinya Pi di film yang diangkat dari novel berjudul sama, karangan Yann Martel ini, memilih untuk tidak mati. Ia memiliki kepercayaan diri. Kekuatan. Dan itu semua karena satu hal: keyakinan; iman. Dan dalam salah satu dialognya, Pi berkata, “Iman mirip sebuah kamar. Dan keraguan ada di setiap lantainya: keraguan harus ada, agar iman tetap hidup.” Seperti keberadaan harimau yang membuat Pi bisa bertahan di lautan: Tanpa Richard Parker (Harimau yang membuat dia takut dan ragu untuk berlayar), aku pasti sudah mati sekarang. Ketakutanku padanya membuatku waspada. Memenuhi kebutuhannya membuat hidupku fokus. Setelah itu, Pi akhirnya bisa selamat dan istirah. Inilah yang membuat kekerasan yang mengatasnamakan agama akan nampak menjadi perilaku yang bodoh alih-alih heroik dan suci. Kita tahu, permaslahaan radikalisme agama adalah kompleks dan tentunya sensistif. Karenanya, tak bisa selesai dengan satu-dua teori. Tetapi memulainya dari diri sendiri—penghayatan penuh-utuh terhadap agama kita masing-masing—adalah awal yang baik untuk memulainya. Seperti Pi, kita percaya bahwa setiap agama memiliki kebaikannya masing-masing: Terima kasih Vishnu, telah memperkenalkan aku kepada Kristus. Aku berasal melalui keyakinan Hindu, dan aku menemukan kasih Tuhan melalui Kristus. Tapi Tuhan belum selesai padaku. Tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Dan Dia memperkenalkan diri-Nya padaku lagi, kali ini dengan nama Allah…. Pi sadar, manusia tak akan pernah bisa memahami secara utuh-penuh tentang tuhan. Keterbatasan manusia tidak mungkin mengatasi hal yang tak terbatas. Di sinilah tercipta ruang toleransi: Kerendahan diri kita terhadap relatifitas pemahaman tentang Tuhan justru membuat klaim-klaim kebenaran sepihak menjadi tidak beralasan sama sekali.

Di sini Life Of Pi mengakhiri kisahnya dengan indah: Pi selamat dan sedang terbaring di rumah sakit. Dua orang jepang dari perusahaan kapal Tsimsum menemuinya untuk mencari informasi sebab karamnya kapal tersebut. Pi menceritakan hal yang diingatnya: Tentang harimau, heyna, pulau karnivora, zebra, orang utan, dan banyak hal yang menurut mereka irasional. Tentu mereka sulit mempercayainya. Setelah diminta, Pi akhirnya menceritakan kisah lain yang mereka mengerti. Kisah yang berbeda… mereka percaya, kemudian pulang. Tidak satupun dari kedua versi cerita tersebut bisa menjelaskan mengapa kapal tersebut tenggelam. Dan toh si tamu bule, seorang novelis yang berniat menulis kisahnya, harus memilih cerita mana yang lebih ia sukai: Dan tak ada yang dapat membuktikan cerita mana yang benar dan tidak. Kedua cerita itu, kapal tenggelam, keluargaku meninggal, dan aku menderita. Jadi mana kisah yg menurutmu menarik? “Yang ada harimaunya,” jawab novelis itu. Pi: “Seperti itulah yang terjadi dengan Tuhan.” Ada banyak cerita tentang-Nya. Hanya tinggal memilih mana yang menurut kita baik, walau kita tahu, tak pernah ada cerita yang sempurna.[]

Modernisme dan Kirab Tebu Manten

Beberapa hari yang lalu (6 April 2013) alun-alun Madukismo riuh-ramai: Pedagang makanan-minuman, deretan parkir kendaraan, dan arakan pengunjung memenuh-sesaki sekujur jalan menuju Pabrik Gula dan Pabrik Spirtus (PGSP) Madukismo, Jogjakarta. Seperti tahun yang lalu, untuk menyambut musim giling dan suling 2013, PGSP Madukismo yang berlokasi di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul itu kembali menyelenggarakan Upacara Kirab Tebu Manten atau dikenal juga dengan Cembengan. Karnaval, pasar malam, wayang golek, dan lainnya menjadi rangkaian acara guna memeriahkan ritual selamatan tersebut.

Sulit dipungkiri, acara yang diwarnai dengan pengorbanan kepala kerbau dan ritual pernikahan sembilan batang tebu tersebut merupakan laku ganjil di tengah kehidupan modern seperti sekarang. Saat kemajuan tekhnologi begitu dirasakan oleh manusia secara umum, entah kenapa adat istiadat macam itu masih dianggap krusial bagi sebagian masyarakat: Harapan lancarnya proses giling dan suling bukan dipenuhi dengan cara rasional seperti peremajaan mesin-mesin giling atau pelatihan keselamatan kerja untuk para pegawainya, namun dengan ritual irasional lengkap dengan liturgi dan bau kemenyannya. Barangkali, kirab tebu manten, yang merupakan salah satu budaya masyarakat jogja adalah suara minor bagaimana modernisme diperbincangkan dan diperlakukan oleh masyarakat—mereka nampak sadar betul bahwa khazanah masa lalu tidak lantas dilupakan walau kehidupan kini nyaris semudah menekan tombol.

Acara-acara sejenis itu adalah momen bagaimana kemanusiaan didikte hingga aras paling subtil: Menyimak kembali jejak kepercayaan pendahulu hingga menemukan hikmah paling kudus yang pernah ada. Dan di sini, modernisme yang konon mampu membawa manusia pada kemajuan, akan dipecundangi sebagaimana mestinya. Sebuah hal yang kontradiktif tentunya. Ketika dunia modern menawarkan penyelesaian dan rutinitas hidup yang rasional-ilmiah dengan berbagai temuan-temuannya, ritual-ritual magis macam itu masih menjadi agenda rutin oleh sebagian masyarakat.

Hadirnya dunia modern yang nyaris lengkap-utuh tak mampu mereduksi kehidupan masyarakat ke dalam angka dan data. Karena memang kehidupan telah hadir dengan segala kompleksitasnya. Dan ketika modernitas—rasio, teori, analisa, metode, dan sebagainya¬—nampak gagap untuk memahami segala permasalahan yang ada, maka manusia kemudian mencari sesuatu yang lain, yang tidak ditawarkan oleh dunia modern. Artinya, dalam menghadapi kehidupan yang kompleks ini, dimensi kemanusiaan (misalnya pertimbangan rasional) tidak mungkin menutup ruang keterbukaan atas keterlibatan dimensi batin; Kepercayaan; Mitos-mitos. Sebab kemodernan tidak hanya memunculkan kemudahan dan kenyamanan, tetapi juga menyodorkan krisis. Manusia modern mengalami krisis kehilangan transedental sebagai bagian dari krisis eksistensialnya. Pada bagian inilah, kebudayaan lokal bisa memberikan spiritualitas alternatif di tengah kerisauan menghadapi krisis yang ditimbulkan oleh kemodernan.

Mitos-mitos Modernisme

Sulit dipungkiri, dunia modern begitu banyak menawarkan kemudahan hidup. Temuan mutakhir dari berbagai bidang seperti tekhnologi, biologi, kimia, kesehatan, dan lainnya ikut memperbaiki kehidupan masyarakat pada umumnya. Tapi hal tersebut sama sulitnya untuk tidak mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak dimengerti oleh dunia modern. Sesuatu yang tak tertangkap oleh rasio, yakni spiritualitas. Hal ini membuat kita mengerti kenapa sebagian masyarakat kemudian, tak terkecuali barat yang mengklaim sebagai rasionalis sejati, beramai-ramai kembali melakoni laku esoterik (batiniah) yang sebelumnya dihina habis-habisan, seperti halnya tao, meditasi, yoga, dan sebagainya.

Paling tidak ini menjelaskan bahwa manusia, di tengah kompleksitas hidup, selalu membutuhkan ruang dan waktu yang khusus untuk merenung. Inilah yang dikatakan oleh budayawan jogja, Prie G.S disebut perenungan yang mendesak. Prie seolah meyakini bahwa silang sengkarut permasalahan masyarakat, setidaknya bisa diminimalisir jika kita memiliki satu ‘ruang’ yang intim untuk memaknai dan merenungkan segala peristiwa yang terjadi. Entah kita mesti setuju atau tidak, namun pada dasarnya, setiap fenomena masyarakat, mau tidak mau, akan menuntut sebuah pemaknaan. Pada titik kesadaran inilah kemudian spiritualitas seperti kepercayaan, mitos-mitos, adat istiadat dan sebagainya masih kita butuhkan hingga sekarang. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, pagelaran adat istiadat seperti misalnya kirab tebu manten mampu meminimalisir perilaku destruktif yang sekarang sering terjadi di negeri ini. Perampokan, pembunuhan, korupsi, suap, pemerkosaan dan lain sebagainya adalah imbas dari krisis spiritualitas sebagai akibat dari rasionalitas yang kebablasan; Kita seperti tercerabut dari khazanah lokalitas kita sendiri. Seiring derasnya pemasaran HP jenis terbaru—yang konon merupakan simbol dari kemajuan—manusia semakin mudah untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Dan di sinilah manusia akan secara sadar merindukan adat istiadat dengan ragam ritual yang sekalipun tak pernah kita mengerti sepenuhnya.

Sama seperti halnya saya dan sebagian masyarakat Madukismo, dunia modern tak pernah mengerti makna kirab tebu manten yang sudah menjadi agenda tahunan itu. Tebu yang dikawinkan, kebo yang dikorbankan, arak-arakan dan sebagainya adalah sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi disinilah kita akan menemukan persentuhan diri kita dengan yang lain: masyarakat, alam, dan tentu banyak hal lainnya. Sesuatu yang tidak pernah diberikan oleh teks dan hasil eksperimen di laboratorium manapun. Seperti pepatah budhis, setumpuk data yang diolah dengan baik sekalipun, hanya akan melahirkan pemahaman. Sementara penghayatan, sebagai puncak persentuhan manusia dengan dunia eksternalnya, hanya bisa didapat dari sebuah kerja bersama antara indra, pikiran, intuisi, dan perasaan. Dengan menggelar dan melestarikan kebudayaan lokal, narasi-narasi tak hanya dipelajari, melainkan diraba, diendus, dibaui, dan diselami hingga aras paling dasar. Hal itu berlaku bagi siapapun yang hendak mencecap aroma dan cita rasa desa, kota atau negeri yang kita akui sebagai rumah kita sendiri. Dan beginilah cara kita sebagai manusia yang berbudaya untuk menjadi manusia modern tanpa harus lesap ke dalamnya.

Upacara kirab tebu manten tahun ini, yang melibatkan ratusan warga dari berbagai desa sekitar, diakhiri dengan pertunjukan wayang kulit. Kecuali kerbau yang menjadi tumbal, semuanya berbahagia atas terselenggaranya acara tahunan tersebut. Dari tukang parkir, pedagang, panitia, peserta, dan pengunjung seperti mendapat untung dari acara tersebut, tentu dengan ragam bentuknya. Dan barangkali beginilah cara kerja adat istiadat: Sekalipun tak pernah dimengerti seutuhnya, selalu ada manfaatnya untuk kita. []

Tuhan, Pluralitas dan Humor

Jika keragaman dan kompleksitas hidup ini terlampau serius dan tak menarik untuk ke-imanan yang tak memadai, maka percayalah, sesungguhnya Tuhan memiliki selera humor yang tinggi.

Saya tak pernah ingat kapan tepatnya ide tentang Tuhan muncul. Sejak kecil, beberapa sumber secara ‘gagap’ berusaha menjelaskan-Nya kepadaku; katanya Ia Maha Pengasih, Penyayang, Pemberi Rizki, atau lainnya__yang kemudian direduksi oleh Feurbeuch sebagai manifestasi dari berbagai cita-cita tertinggi manusia yang akhirnya kita sembah. Tidak mengherankan jika kemudian ide tentang Tuhan nampak tidak begitu menarik buat saya. Pembicaraan tentangnya adalah omong kosong yang selalu menuntut untuk disakralkan. Ia seolah hadir begitu saja untuk kemudian harus diyakini. Beberapa orang menyebutnya ‘iman’, tapi saya menyebutnya ‘keputusasaan’. Namun bagaimanapun, meng-imani Tuhan sama sulitnya dengan tidak meng-imani-Nya. Dan saya optimis tentang hal tersebut.

Kompleksitas hidup dengan berbagai permaslahannya, sedikit menambah keimanan saya tentang eksistensi Tuhan. Setidaknya harus ada yang bertanggung jawab dengan terselanggaranya kehidupan ini (dengan berbagai kerumitan serta penderitaan di dalamnya), dan karenanya, Tuhan harus ada. Namun Tuhan tetap menjadi sesuatu yang absurd. Walaupun tidak sempat membuat saya agnostis.

Saya ingat ketika kecil sering mendengar tentang cerita api neraka dari seorang penceramah. Kenyataannya, neraka adalah realitas yang lebih menakutkan daripada Tuhan: karena secara imajinatif bisa secara gampang saya pahami. Sehingga, Tuhan selalu menjadi sebuah terminologi kosong yang tersisih di pojok abtraksi nalarku. Namun kemudian, ketika beranjak dewasa, Tuhan menjadi sosok yang menyeramkan melebihi konsep neraka manapun yang pernah saya dengar. Ia muncul dengan berbagai larangan, perintah dan kredo-kredo yang tak terbantah. Agama melegalisirnya sebagai sebuah hukum dengan stempel dosa bagi para pelanggarnya. Tanpa menimbulkan kegaduhan, Tuhan lantas menjadi makhluk dengan PENUH KUASA, PENUH ATURAN, PEMARAH, PENGHUKUM, yang tanpa sedikit kesulitan apapun, mampu menyiksa siapa saja yang ingkar pada-Nya. Namun di bagian lain, Tuhan ingin kita anggap sabagai Maha Penyayang, Pengasih, serta Pengampun, dan dalam hal ini, agama juga menjadi sales utama yang memasarkan pemahaman tersebut. Saya pikir, hadirnya ide Tuhan dengan segala keragaman ciptaannya adalah juga kehadiran paradoks yang menggelikan. Dan ketidakpastian dalam hidup ini, termasuk Tuhan itu sendiri, menurutku, adalah bagian dari humornya yang terkadang jayus.

Pada tahap ini, saya sedikit mengerti keinginan Tuhan. Dari awal Ia Nampak tidak berniat secara utuh memperkenalkan diri kepada makhluknya. Dan mungkin hidup ini sengaja Ia persulit agar lebih menarik. Beragam kontradiksi dan paradoks yang Ia ciptakan tentang dirinya, ataupun hidup ini, adalah bentuk hiburan untuk kita. Bukankah menurut seorang penulis jenaka, Nicholas Fearn, bahwa parodi yang cerdas adalah hasil sebuah paradoks dan kontradiksi realitas yang mendahului pikiran kita. Dan nampaknya Tuhan memahami hal tersebut. Maka, segala kompleksitas yang Ia ciptakan adalah ruang di mana segala perhatian kita mesti tercurah: Serupa panggung komedi, dan saya bayangkan Tuhan sedang berdiri, kemudian Ia mengeluarkan joke-joke-Nya ala Radithia Dika misalnya, atau Panji, atau siapapun, Sehingga sebenarnya Ia berniat mengajak kita untuk menertawakan dengan cerdas segala kompleksitas kehidupan ini. Walau terkadang, akibat selera humor Tuhan yang terlalu tinggi, hingga membuat-Nya selalu gagal melucu di depan kita.

Barangkali, jika Umberto Eco pernah bertanya dalam salah satu novelnya: pernahkah Tuhan tertawa? Maka akan saya jawab, Ia tidak hanya tertawa, tetapi setiap saat, tiap bulir takdir yang Ia ciptakan untuk makhluknya, adalah bentuk parodi yang bahkan mengundang kita untuk tertawa. Dan mungkin benar, bahwa di setiap humor sebenarnya selalu menyimpan segudang hikmah yang di rangkai dengan keseriusan yang sempurna, dan mungkin juga dengan kesolehan yang kafah. Jika saya boleh mengutip perkataannya Milan Kundera: Mari berfikirlah, agar Tuhan bisa tertawa! Maka tertawalah untuk hidup, dan jangan takut, karena Tuhan sebenarnya Maha Humoris. Tabik! []

Dead Poets Society dan Pendidikan Kita Hari Ini

“Kalian harus berusaha untuk menemukan suara kalian sendiri”

Kalimat tersebut saya kutip dari film yang saya tonton beberapa hari lalu berjudul Dead Poets Society. Film yang disutradarai oleh John Seale itu menceritakan tentang seorang guru sastra bernama John Keating yang diperankan secara wajar oleh Robin Williams. Ia di film tersebut, yang akrab dipanggil Captain, oh My Captain oleh murid-muridnya itu, dikisahkan sebagai pengajar yang memiliki cara yang unik dan kadang aneh ketika menyampaikan materi kepada murid-muridnya. Film ini sekilas mengingatkan kita tentang kekuatan puisi dan usaha untuk mendefinisikannya dalam kehidupan institusi pendidikan yang kaku dan membosankan. Tapi secara keseluruhan, film yang di produksi tahun 1989 ini tidak melulu berbicara tentang puisi atau sastra an sich, atau karenanya termasuk ke dalam golongan film yang sok filosofis dan cenderung melangit. Tidak! Film ini secara sederhana hanya ingin menjelaskan makna satu hal kepada kita: Manusia.

Salah satu yang menarik di film ini adalah bagaimana institusi pendidikan di anggap sebagai sesuatu yang bisa melupakan kita pada makna manusia dan tentunya kemanusiaan itu sendiri. Akademi Welton yang digambarkan di film tersebut sebagai sekolah unggulan, dengan semboyan empat pilarnya (tradition, honor, dicipline, excellence) dan mengklaim banyak mencetak orang-orang berkualitas dan sukses dalam karier ternyata memiliki permasalahan serius dalam proses pengajarannya: Metodenya yang kolot, kaku, dan menganggap murid-muridnya serupa robot yang harus dijejali oleh berbagai program supaya memiliki manfaat adalah pendidikan yang nampak tidak manusiawi. Mereka direduksi sedemikian rupa dalam satu homogenitas pencapaian tanpa memperhatikan keunikan dan kecenderungan masing-masing. Mempersetan minat dan bakat. Yang akhirnya, meminjam bahasa di film tersebut, hanya memproduksi lulusan-lulusan yang terpenjara dalam bingkai. Dalam satu adegan di film tersebut, John Keating menyuruh murid-muridnya mendekat dan kemudian mendengar dengan khidmat foto-foto alumni yang di pajang di lorong sekolah, kemudian ia berkata: .... mereka menunggu sampai semuanya terlambat... untuk menciptakan kehidupan mereka sampai sedetailnya dari apa yang mereka mampu? Tapi.... mereka terkurung dalam sebuah bingkai. Namun jika kamu perhatikan lebih dekat... Kamu akan dengar bisikan yang mereka tinggalkan untukmu. ... Dengar, kamu mendengarnya? ... “petiklah, petiklah hari”. Sebelum layu. Sebelum terlambat. Hingga kita sadar bahwa potensi kita tak dibatasi oleh apapun, termasuk kurikulum.

Tapi dead poet society tak kemudian selesai hanya menjadi sebuah film berdurasi sekitar 2 jam dan memiliki ending tanpa penyelesaian yang berarti. Semangatnya bergaung dan seperti mengugatan dengan keras sistem pendidikan kita hari ini. Tentu menjadi ironi sendiri, ketika kita masih percaya bahwa pendidikan bisa menjadi titik tolak untuk memperbaiki segalanya, di indonesia pendidikan kemudian ikut terpelintir kedalam kekacauan. Pendidikan kini hanyalah panggung bagaimana kebodohan dan kebebalan dipentas-meriahkan. Pendidikan yang lebih merayakan hasil ketimbang proses. Pada titik inilah pendidikan akan lepas dari kemanusiaan. Ia akan menjadi hal lain yang begitu asing dan mengasingkan—yang tidak akan menjadi apapun kecuali hafalan teori dan fosil-fosil ide tanpa kita mengerti untuk diapakan kecuali sekedar diingat. Padahal .... pendidikan adalah untuk belajar berpikir untuk diri sendiri. Sehingga kemanusiaan bahkan diri kita akan lenyap dalam proses pendidikan macam itu. Dan kita tak mesti kaget jika ternyata institusi pendidikan di Indonesia serupa akademi welton di film tersebut, bahkan lebih buruk. Seperti UN (Ujian Nasional) yang merupakan satu dari banyak sistem pendidikan di Indonesia yang kontroversial karena dianggap menciderai tujuan pendidikan. UN entah kenapa sampai sekarang masih dianggap sebagai cara ampuh untuk menakar kemampuan siswa, memukul rata, bahkan mengeneralkan keberhasilan pencapaian peserta didik melalui sederet nilai-nilai keramat.

Dehumanisasi Peserta Didik Melalui UN

Saya jadi ingat satu adegan yang mungkin terbaik di film tersebut: Ketika akan memulai pelajarannya tentang Memahami Puisi, John Keating menyuruh murid-muridnya merobek halaman pengantar yang ditulis oleh Dr. J. Evans Pritchard, Ph.D. “Sekarang, Saya ingin kalian merobek halaman tersebut... lakukan... robek halaman itu! Tidak ada lagi Mr. J. Evans Pritchard. Sekarang, kalian akan belajar kembali cara berpikir untuk diri kalian sendiri”. Dan begitulah ia memulai kelasnya. Barangkali John Keating sadar seutuhnya bahwa yang ia hadapi adalah manusia yang tentunya memiliki cara pandang dan kemampuan yang berbeda dalam memahami sesuatu. Ia tidak hendak secara kasar membatasi kemampuan anak didiknya oleh sebuah pakem tertentu. Ini jelas adalah sebuah pencerahan mengingat pendidikan kita nyaris serupa dunia industri: Produk pendidikan (peserta didik) akan mengalami sortir dengan berbagai tahap dan standarisasi yang dipatok oleh penguasa industri. Jika produk tersebut tidak sesuai dengan kualifikasi, maka akan di cap produk gagal (tidak lulus) dalam legitimasi lembaran kertas bernama ijazah. Sistem tersebut jelas mereduksi nilai-nilai kemanusiaan karena menganggap bahwa peserta didik adalah objek mati yang tidak mempunyai kehendak apapun. Pemikiran apapun. Keunikan setiap individu peserta didik sebagai manusia telah diabaikan mentah-mentah dengan logika pembendaan tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan proses dehumanisasi peserta didik.

Model soal pilihan ganda yang digunakan dalam UN juga telah mematikan unsur kreatifitas dan inisiatif peserta didik. Sebab peserta didik diharuskan memilih opsi-opsi jawaban yang sudah tersedia pada lembar jawabannya, tanpa diijinkan untuk mengembangkan daya kreasinya. Model soal pilihan ganda dengan jawaban pasti ini juga akhirnya menimbulkan budaya instan pada proses pembelajaran peserta didik, sehingga pendidik pun menyelenggarakan pembelajaran dengan model drilling yang menuntut peserta didik untuk sekedar menghapal jawaban-jawaban yang sudah pasti, tanpa harus memikirkan darimana datangnya jawaban tersebut.

Penyelenggaraan UN juga telah melecehkan kemerdekaan pendidik dalam berpikir dan berbuat. Pemerintah hanya seolah-olah saja berusaha menyenangkan hati para pendidik dengan pemberlakuan KTSP atau pembaharuan kurikulum yang pada prinsipnya membebaskan pendidik dan satuan pendidikan dalam penerapan kurikulum sesuai dengan keunikan potensi sekolah dan daerah masing-masing. Pasalnya, meskipun KTSP telah ditetapkan pemberlakuannya, pemerintah masih saja ingin menilai keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dengan UN yang jelas-jelas tidak saling bersinergi. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena penerapan KTSP antara masing-masing sekolah tentunya juga berbeda. Pada akhirnya, pendidiklah yang harus mengalah dengan mengikuti kemauan pemerintah yang telah menetapkan standar-standar tertentu atas pencapaian hasil belajar peserta didik melalui UN, jika mereka tidak ingin mendapatkan berbagai hukuman seperti vonis ‘tidak lulus’ maupun ‘sekolah tidak favorit’. Menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak . Hukuman yang dimaksud tentunya adalah stempel ‘tidak lulus’ dan ‘tidak dapat ijazah’. Terlebih lagi, berbagai tekanan terhadap peserta didik yang berlebihan tersebut dapat mengakibatkan peserta didik mengalami depresi berat bahkan sampai ada yang meninggal dunia . Inilah kenapa barangkali Dead Poets Society berakhir dengan cerita bunuh dirinya Neil Perry, salah satu murid dari John Keating yang sangat ingin menjadi aktor namun dilarang oleh orang tuanya. Film tersebut seperti secara lantang mengatakan bahwa kekerasan dalam proses pendidikan akan mengantarkan kedalam sebuah kematian, apapun bentuknya.

Selain itu, penilaian pencapaian kompetensi peserta didik melalui UN adalah praktek pengabaian kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik. UN jelas-jelas bertentangan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif dalam konstitusi . Padahal fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan . Bila seorang peserta didik yang tidak lulus UN dianggap ‘tidak cerdas’ secara kognitif, maka hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap keutuhan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh manusia.

Pada akhirnya, proses dehumanisasi peserta didik inilah yang digambarkan sebagai proses yang tidak memanusiakan peserta didik, sebab proses pendidikan adalah sesuatu yang intangible sehingga dengan adanya UN sebagai alat untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik, telah terjadi praktek reifikasi , yang digambarkan oleh Paulo Freire sebagai proses dehumanisasi . Pada titik inilah kita semakin sadar tentang perlunya pendidikan yang humanis. Pendidikan humanis tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi mengajak untuk menghayati, menyelami, serta memahami berbagai bentuk ekspresi ragam manusia. Oleh karena itu, dapat disebut tidak semata menyentuh intelektual, tetapi lebih jauh adalah sisi kemanusiaannya itu sendiri, baik dalam konteks individual maupun sosio-kultural. Dengan kata lain, pendidikan humanis bertujuan untuk pengangkatan manusia ke arah insani atau lebih tegas lagi “memanusiakan manusia” melalui sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan. Seperti puisi karya Whitman yang dibaca oleh John Keating dalam film itu, O saya, O hidup adalah pertanyaan. Yang berulang-ulang. Dari perjalanan tak berujung. Akan ketidak-setiaan. Dari kota yang berisi. Dengan kebodohan. Apa yang baik ditengah-tengahnya, O saya, O life. Bahwa kita di sini dan memiliki ciri khas. Bahwa sebuah kuasa sedang berlangsung, dan mungkin kita adalah peran utama. Kita tak sepenuhnya tahu bagaimana mengakhirinya. Tapi film tersebut memilih berakhir dengan sangat dingin dan meninggalkan banyak persoalan yang sejak awal dihadirkan. Barangkali, John Seale tak hendak membuat filmnya menjadi utopis dan klise, terlebih apa yang jadi permasalahannya adalah sistem dalam sebuah institusi; tidak mungkin bisa selesai dengan hanya kehadiran seorang John Keating. Tapi film tersebut semakin membuat kita yakin, ruang pendidikan tak dibatasi tembok kelas, kurikulum ataupun apapun, ia tak berbatas sama halnya dengan kemampuan berfikir manusia. Dan inilah yang membuat kata-kata John Keating bergaung di kepala kita semua: Kapan dan dimanapun kita sedang berfikir, pastikan... kalian harus menemukan suara kalian sendiri.[]

Kita, Parodi dan Iklan Politik

Seperti yang sudah lama kita sadari, politik hanya menjadi ruang permainan bagi segelintir orang. Akhirnya, orang miskin dan anak-anak muda seperti diharamkan untuk dekat-dekat dengan hal yang satu ini. Seolah tidak cukup ilmu dan energi untuk sekedar membicarakan tetek bengek yang berkaitan dengan dunia politik. Seolah-olah, kita yang muda hanya cukup masuk ke bilik suara, mencoblos, setelah itu, biar urusan politik lainnya kita serahkan kepada pada yang ahli. Tapi belakangan politik mirip sebuah parodi. Ini bukan hanya karena ada politisi yang berniat gantung diri di monas atau lainnya, tapi karena ternyata dunia politik sama tidak seriusnya dengan acara lawak. Dan di saat musim kampanye tiba, siap-siap, kita akan semakin terhibur-geli karenanya.

Tengok saja iklan-iklan politik mereka. Biasanya ada sepasang potret lugu dan satu baris kalimat sakti yang barangkali setingkat dengan mantra dukun: Coblos kumisnya, kami ada untuk rakyat, berantas korupsi, isyaallah kami bisa, dan lain sebagainya. Ini tentang iklan politik dan slogannya yang meyakinkan dan menjanjikan itu. Sepertinya beriklan sudah menjadi kebutuhan pokok tersendiri bagi dunia politik.

Jika itu benar, berarti musim politik adalah musim ketika pemilik media dan masyarakat menjadi penuh harap, pastinya untuk yang terakhir selalu dengan rasa cemas. Hal itu menegaskan apa yang pernah dikatakan Goenawan Mohammad: Soal paling serius dalam politik hari ini adalah harapan. Mengenai hal tersebut, mereka ‘calon pemimpin itu’ biasanya selalu punya yang satu ini: slogan yang menjanjikan dan kalo bisa terdengar sakti.

Barangkali memang yang paling krusial dari politik dewasa ini adalah bagaimana bisa membeli kepercayaan masyarakat dengan kata. Karena toh kemenangan dalam demokrasi adalah kemenangan jumlah suara pemilih. Tengoklah media hari ini, hal yang akan mudah Anda temukan selain iklan rokok dan iklan klinik kesehatan adalah tentu iklan politik: Seperti biasanya, selalu ada potret lugu dan sebaris slogan ajaib di sana. Ia bisa sebuah persuasif, janji, perkenalan, sering juga khayalan. Slogan menjadi hal penting dalam demokrasi. Prinsipnya, semakin meyakinkan sebuah slogan, semakin mungkinlah sang calon menjadi pemenang.

Tentu hal tersebut bukan tanpa sebab. Sejak reformasi bergulir di Indonesia, dunia politik mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud diantaranya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden, wakil rakyat (DPR) dan wakil daerah (DPD) yang dilakukan secara langsung. Hal ini membuka kesempatan bagi rakyat untuk memilih sendiri siapa pemimpin yang mereka kehendaki. Dalam proses tersebut, akan dipilih siapa pemimpin yang menurut rakyat paling kompeten dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bersama. Pada tahap inilah para calon dianggap perlu memperkenalkan diri kepada masyarakat. Spanduk, pamflet, Koran, televisi, internet dan media lainnya menjadi kebutuhan dalam ritus politik. Jika ingin dipilih oleh masyarakat, ia harus diingat dan karenanya ia juga harus beriklan. Sama seperti yang diutarakan oleh Heryanto (2008), dalam tulisannya berjudul “Perang Citra dan Literasi Politik”, kampanye politik menjadi instrumen yang memainkan peranan penting dalam memandu kesadaran khalayak pada sosok dan citra diri kandidat. Satu hal yang menarik yang pernah ditulis oleh T. Yulianto (2004) dalam artikel di harian Kompas berjudul “ Iklan Politik di Televisi”. Ia mengatakan bahwa iklan politik tidak berbeda dengan promosi produk. Hal tersebut seolah menjawab kegelisahan kita bersama. Karena memang pada kenyataannya iklan politik tak lebih realistis ketimbang iklan rokok. Tentu kita tahu bahwa iklan punya logikanya sendiri, termasuk iklan politik. Dalam bahasa Bau-drillard, iklan “mengubah peristiwa semu menjadi kejadian riil sehari-hari”. Pada iklan politik, tidak persis seperti itu karena “fakta” yang diinformasikan dalam iklan politik bisa merupakan dokumen, dalam arti fakta itu ada dalam kehidupannya. Akan tetapi, kebanyakan ,”fakta” dalam iklan politik adalah hasil rekaan. Berdasar skenario yang dibuat sedemikian rupa untuk satu kepentingan: pencitraan. Karenanya, di musim politik ini, mau tidak mau kita akan banyak melihat para calon melakukan “tugas”nya dengan “baik”: Berfoto dengan petani, menyapu jalan, bercakap dengan PKL (Pedagang Kaki Lima), membantu korban bencana dan tentu banyak lagi yang menjadi kebiasaan para calon pemimpin kita saat menjelang pemilu. Se-mulya apapun laku yang mereka lakukan, toh pada akhirnya kita sadar, ini semua hanya sebuah iklan.

Dalam perspektif iklan dan media, maraknya iklan politik yang bertebaran di ruang publik adalah dampak dari demokratisasi politik. Kemenangan politik adalah berarti kemenangan kesan. Citra. Sehingga para calon tentunya butuh eksistensi. Politik lantas menjadi sebuah pertarungan citra. Persis apa yang pernah dikatakan seorang pakar komunikasi Dedy Mulyana, bahwa para kandidat beriklan untuk menyatakan eksistensi diri mereka. Tanpa iklan, ia tak akan pernah diingat oleh calon pemilih. Ia akan dianggap tidak ada. Iklan dan politik pencitraan Dalam kaitan ini, Riyanto, Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra, lebih jauh menjelaskan bahwa iklan kampanye politik merupakan media komunikasi politik baru sejalan dinamika demokra-tisasi akibat cepatnya proses reformasi sejak lengsernya presiden Suharto. Di sini, media merupakan salah satu cara untuk melegitimasi eksistensi politisi untuk membangun citra positif menuju kekuasa-an yang lebih tinggi. Selain itu, citra politik yang kian buruk di mata masyarakat, terlebih dengan banyaknya politisi yang terjerat beragam kasus, kegiatan beriklan menjadi perlu. Ia adalah ruang bagi para calon untuk seolah-olah menegaskan kepada para pemilih: Saya berbeda dengan mereka, saya orang baik dan layak dipercaya, silakan pilih saya!. Hal ini mempertegas bahwa media tidak hanya sebagai sarana informasi dan edukasi kepada masyarakat, tetapi juga alat perjuangan atau ruang bagi para calon pemimpin untuk mengkomunikasikan segala visi-misi atau rencana program kerja mereka jika nanti terpilih. Dalam konteks komunikasi politik, hal tersebut tentu akan berdampak baik. Dalam mengamati fenomena iklan politik di Indonesia, Ardianto (2008,17) menjelaskan bahwa perang spanduk dan kampanye politik yang biasa dilakukan para kandidat baik melalui televisi, surat kabar lokal dan nasional umumnya lebih menjurus pada politics marketing, yaitu menjual ide daripada membangun image dan reputasi. Menurut Elvinaro, politics marketing hanya semata-mata bertujuan untuk menjual produk (selling product) bukan pada penguatan citra, kredibilitas atau kapasitas kandidat apakah layak jadi pemimpin daerah atau tidak. Arbi Sanit (Subinarto, 2008) mengemukakan, “lewat iklan politik masyarakat hanya diajak untuk memilih orang yang populer. Ini menjebak rakyat karena pemimpin tidak cukup bermodalkan popularitas, tetapi ia harus memiliki pengalaman dan terbukti teruji”. Di sini, iklan yang ditayangkan atau dibuat oleh para politisi dan kandidat untuk mendongkrak popularitas semata-mata adalah pencitraan semu. Hal ini tentu menjawab tentang fenomena artis yang terjun di kerjaan “menghimpun suara” ini. Karena minimal popularitas yang dimiliki seorang artis akan mempengaruhi kesan dan simpati pemilih. Walaupun pada akhirnya, syarat wajib yang menjadi patokan partai politik untuk mengusung calonnya adalah sebatas popularitas.

Pada sudut pandang inilah, ketika jalanan dan media dipenuh-sesaki oleh potret-potret lugu dengan slogan saktinya itu, saya hanya senyum-terhibur. Benar kata seoarang teman, dunia politik adalah dunia penuh drama yang kadang menarik walau lebih sering klise dan garing. Dan akhirnya, ada yang semestinya lebih harap-harap-cemas ketimbang masyarakat di setiap musim pemilu seperti sekarang: para aktor dan aktris. Karena bagaimanapun kita harus mengakui bakat akting yang dimiliki para calon pemimpin kita barangkali mengancam pekerjaan mereka. Dan kita yang masih muda yang barangkali juga alergi dengan politik tak mesti takut dan asing dengan politik, karena toh politik ternyata cukup menghibur. []