Rabu, 26 Juni 2013

Kakek dan al-Fatihah yang Tak Lengkap

Jelas ini bukanlah sebuah cerita besar seperti dalam buku-bukunya Dand Brown, atau serupa kisah Titanic yang katanya bikin boros tisu itu. Ini sekedar kisah kecil dari bagian hidupku yang paling sederhana. Aku tak membaca buku apapun ketika menulis ini. Deret buku filsafat, sastra, agama dan lainnya yang berbaris di rak seketika menjadi tak berguna. Entah kenapa. Hanya potret lusuh dan ingatan beberapa pertemuan dengannya yang membuat kisah ini selesai ku tulis.

Dia adalah kakekku, Mbah Carim namanya. Aku berani bertaruh, Anda pasti tak mengenalnya. Jelas. Ia bukanlah orang besar; Ia bukan seorang politisi yang gambarnya bisa Anda liat tiap persimpangan jalan; Ia juga bukan artis yang mendapat ekspos besar-besaran hanya karena bulu mata dan jambulnya yang abnormal. Mbah Carim hanyalah seorang pedagang kecil. Jika kehidupannya di filmkan, mungkin akan mirip reality show tentang orang miskin yang akhir-akhir ini mulai nge-tren di TV dan mendapat rating yang cukup bagus. Ini nampak tak aneh, mengingat kemiskinan barangkali adalah satu-satunya hal yang paling dimengerti oleh masyarakat kita. Tapi ingat, cerita kakek ku bukanlah cerita sedih atau yang yang disedih-sedihkan. Anda tak diwajibkan menyiapkan tisu saat membaca tulisan ini. Karena bagaimanapun, Ini hanya cerita sederhana antara Aku dan kakekku. Dan seperti pertanyaan dari tema besar tulisan ini: Apa yang akan Kau persembahkan kepada orang yang kau kasihi? Aku hanya teringat Kakek dan satu hal yang tak selesai ku berikan padanya: Surat al-fatihah.

Entah bagaimana memulai cerita tentang hal yang tak benar-benar menjadi perhatianku. Kakek bukanlah orang yang sering Aku ajak ngobrol. Kuantitas pertemuan dengan kakek dalam satu minggu tak lebih sering dibandingkan kuantitas membuka akun Facebook. Ini menjelaskan bahwa Aku tak memiliki hubungan spesial dengannya. Aku hanya merasa kakek adalah orang yang kebetulan menjadi ayah dari orang tuaku, Ibu. Selebihnya tak ada: Aku memiliki kehidupanku sendiri, begitupun kakek.

Biasanya Aku ada di rumah ketika hari Sabtu dan Minggu. Sisanya Aku habiskan di asrama kampus oleh berbagai kegiatan kuliah dan komunitas. Di hari itu biasanya Kakek datang ke rumahku. Kebetulan rumahnya dan rumahku hanya dipisahkan sepetak tanah kosong dan tiga rumah tetangga. Seperti biasanya, ia mengenakan kaos putih polos dengan sarung kotak-kotak yang kadang tak simetris. Tak lupa, dia membawa satu bungkus gula batu dan teh. Sesampainya di rumah, ia selalu memintaku membuatkan teh manis dengan gula-teh yang ia sudah bawa. Tentu dengan pengantar yang selalu sama seperti pertemuan yang sebelumnya, “ning umah langka banyu panas, jaluk banyu ya, sekalian digawenang ‘di rumah tidak ada air panas, minta ya, sekalian dibuatin’ ”, pintanya dengan bahasa dan logat jawa yang masih kental. Maklumlah, kakek adalah seoarang keturunan jawa asli. Beragamnya daerah perantauan sepertinya tak membuatnya lupa dengan kampung halaman, terlebih bahasa ibunya. Setelah itu, sembari menikmati teh manis yang sudah Aku buatkan, ia menanyakan banyak hal tentangku. Dari kuliahku sampai ke hal-hal yang sederhana. Ia memang lebih suka mendominasi pembicaraan dengan lawan bicaranya. Setiap ada kesempatan bertemu dan berbicara denganku, ia lebih suka bercerita kehidupannya. Kadang ada bagian-bagian yang ia ulang. Ini membuat setiap pertemuan dengannya sedikit membosankan. Aku hanya merespon dan menjawab pertanyaannya dengan alakadarnya. Mungkin setiap manusia yang sudah tua akan menjadi seperti ini: membosankan dan suka bicara. Ditambah lagi, pendengaran kakek kurang baik. Terkadang Aku harus meninggikan nada suaraku ketika berbicara dengannya. Sungguh alasan yang kuat untuk membuatnya tak menarik sama sekali dijadikan teman ngobrol. Selain itu, ia mempunyai kebiasaan yang membuatnya terlihat asik sendiri hingga melupakan sekitar: Ayam dan keris. Setiap hari, jika bukan ayam yang di elus-elus, ya kerisnya itu. Barangkali ini yang membuat istrinya, almarhum nenek, dulu sering jengkel dan marah. Kalo meminjam bahasa orang pacaran, ini sejenis cemburu mungkin. Bagaimana tidak, kakek lebih suka memperhatikan ayam dan kerisnya ketimbang nenek. Kalo ayam dan kerisnya setiap pagi ia mandikan, tetapi nenek ditanya pun tidak. Suatu ketika, saat nenek masih hidup, Aku mendengar nenek marah ke kakek mengenai itu, “kalo ayam tiap hari di urusin, sampe dimandiin segala …, tapi istrinya gak pernah diperhatiin”. Kemudian Kakek menjawab seolah tanpa beban, “ya kalo kamu kan bisa mandi sendiri, tapi kalo ayam kan gak. Kalo kamu mau dimandiin juga, jadi ayam saja, nanti saya yang mandiin”. Aku yang mendengar jawaban kakek yang setengah bercanda itu hanya tertawa. Mungkin hal tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat jawa. Melihara ayam aduan dan mengoleksi keris menjadi hal yang wajib, se-wajib anak muda sekarang untuk upadate status. Dan satu hal yang membedakan kakekku dengan kakek-kakek yang lain: percaya atau tidak, ia seorang playboy. Entah imbas dari apa, setiap daerah perantauan yang ia kunjungi, kakek selalu dapat istri. Saya adalah cucu dari istrinya yang ke dua. Kesimpulannya, kakek bukanlah sosok yang kisah hidupnya patut dijadikan suri tauladan.

Tapi bukan berarti hidupnya tak berarti. Setelah ia meninggal, ada satu hal yang benar-benar saya dapatkan darinya, sekalipun dengan segala keterbatasannya, ia tak pernah bisa mengatakannya padaku. Menghafal al-Fatihah Satu momen yang tak pernah bisa Aku lupakan: Kakek memintaku diajarkan shalat. Entah ‘wahyu’ macam apa yang datang padanya di usianya yang berkepala enam itu. Setahuku kakek selalu memiliki pandangan lain tentang ke-islamannya itu. Ia memang sedikit terpengaruhi oleh ajaran kejawen (harmonisasi dari kebudayaan jawa dan islam). Banyak mantra-mantra jawa yang ia hafal. Katanya itu adalah warisan turun temurun dari pendahulunya dan berhulu pada ajaran Sunan Gunung Jati. Jika dilihat dari redaksinya, mantra-mantra itu adalah hasil dari islamisasi syair-syair jawa. Tapi kita tahu, shalat tak memakai mantra-mantra jenis itu. Minimal kakek harus hafal surat al-Fatihah yang merupakan salah satu rukun shalat. Entah apa saja yang sudah dilakukan kakek semasa mudanya, banyak mantra yang dihafal tetapi al-Fatihah saja ia tak tahu, lebih-lebih hafal. Di sela-sela kesibukan, Aku mengajarinya dasar gerakan shalat dan tentu mengajarinya juga surat al-Fatihah. Seingatku waktu itu baru dua ayat pertama yang berhasil kakek hafal, itu pun menghabiskan waktu lebih dari sebulan. Maklum, masa tua adalah masa-masa sulit untuk mengingat. Pelupa. Akhirnya hingga kesehatannya memburuk, ia tak pernah sempat lagi menghafalkan sisa ayatnya. Semakin hari kesehatan kakek semakin memburuk. Dari asma hingga rematik, sampai penyakit yang namanya sulit Aku hafal pun kakek idap. Boro-boro melanjutkan sebagian hafalannya itu, untuk mengatur nafasnya sendiri saja nampak kesusahan. Ia hanya terkulai di atas ranjang tua itu. Hanya terdengar suara mirip ketika memompa ban saat ia bernafas. Seminggu atau sebulan sekali Aku ke rumah kakek untuk menengok. Biasanya bibiku, anak terakhir dari kakek, yang suka menyuruhku pulang jika ada keperluan mendadak mengenai pengobatan kakek. Ia menyuruhku agar bisa intens membantu merawat kakek. Jelas itu tak mungkin mengingat seabrek kegiatanku di kampus.

Kematian Kakek

Selalu ada yang luput untuk dipahami, sedangkan waktu membatasi banyak hal dalam hidup: Rambut yang memutih, tubuh yang membungkuk, dan kulit yang kian keriput. Semuanya bergegas. Bergerak. Karena hidup memang butuh perubahan: Mengutuk diam dan keabadian. Dan waktu mengantarkan banyak hal sampai pada batasnya: Menua, lantas mati! Kematian jelas tak bisa disangkal. Berita kematian kakek kudapatkan dari bibi. Dengan suara serak menahan tangis ia menelponku. Ada rasa aneh dan sesak yang ku rasa. Tidak sesederhana seperti rasa sedih. Ada sesal yang berbeda yang biasa ku rasakan. Tapi entah apa. Setelah mematikan HP, Aku langsung bergegas pulang. Sepanjang jalan ku berharap bisa menghadiri pemakaman dan bisa melihat wajahnya yang terakhir.

Saya menuliskan cerita ini di hari ke-delapan kematiannya. Mungkin sesuatu menjadi nampak lebih berharga hanya pada makna kematian. Obrolan, rutinitas bahkan keberadaannya yang selalu luput dari perhatianku kini mendadak menjadi rindu. Kematian selalu meninggalkan jejak-jejak sederhana namun absurd. Di sela-sela kesibukanku, ketika sekilas ku ingat sosoknya, tak ada yang benar-benar ingin ku berikan padanya selain sisa dari hafalan al-Fatihah miliknya.[]

Cirebon, 21 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar