Rabu, 26 Juni 2013

Cyberpublic Space: Sebuah Ruang Alternatif

Globalisasi, kemajuan, modernitas atau apapun namanya menjadi ruang baru bagi seluruh kehidupan manusia, terlebih dari bidang yang satu ini: Internet.

Di sadari atau tidak, internet bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi manusia. Saya jadi ingat sebuah iklan yang telah lalu__iklan program pemerintah untuk mengenalkan internet kepada masyarakat desa__karena katanya internet adalah barang yang canggih, seorang pengembala dengan polos bertanya, “Kalo gitu, internet bisa nyari kambing saya yang ilang, dong?”, iklan itu pun diakhiri dengan gelak tawa. Tapi itu dulu. Kini internet sudah menjadi kebutuhan dasar manusia dari berbagai kalangan, termasuk pengembala sekalipun. Terlebih dengan banyak hadirnya aneka jejaring sosial yang menggelitik syaraf eksistensi kita. Sebut beberapa contohnya: ada Facebook, Twitter, BBM, YM, dan tentu masih banyak lagi. Internet, dengan berbagai jejaring sosialnya kemudian menjadi ruang yang hangat untuk saling sapa, curhat, tukar pendapat, berdebat, dan bentuk komunikasi lainnya. Internet lambat-laun menjadi ruang publik baru dengan dimensi virtual (Cyberpublic Space) yang dianggap bisa menggantikan ruang publik yang sebenarnya.

Tentu kita semua tahu, manusia butuh ruang publik. Dengan segala kepenatan rutinitasnya__tekanan kerja, politik ataupun sosial__manusia selalu butuh ruang yang segar, yang memungkinkan adanya interaksi dengan lingkungan atau orang baru: sekedar untuk bercakap, tegur sapa, merenung, bersantai, berkumpul atau sebagainya. Dan ketika di dalam realitas, keberadaan ruang publik yang mampu mengakomodir kebutuhan dasar manusia untuk berkomunikasi atau semacamnya tidak ada, manusia akan mencari alternatif lain. Inilah yang membuat banyak orang berbondong-bondong masuk ke dunia maya dengan berbagai pilihan ruang mayanya (Cyberspace). Jejaring sosial kemudian menjadi sesuatu yang diminati banyak orang.

Simak bagaimana arus informasi begitu cepat dilahap oleh pengguna jejaring sosial. Kasus pernyataan Anas Urbaningrum yang mau digantung di monas misalnya, dalam hitungan detik beragam komentar mengenai hal itu bermunculan di ruang virtual ini. Ada yang lucu, cerdas, kreatif, jujur, ceplas-ceplos, dan sebagainya. Di ruang maya ini kita mendapat kebebasan mutlak untuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan apapun. Dalam kehidupan nyata, Cyberspace menyuguhkan metode-metode katarsis yang canggih, melepaskan diri dari tekana kerja, politik, sosial, dan tekanan hidup lainnya dengan penjelajahan psikososial tanpa batas untuk menemukan diri dan identitas ‘utopis personal’ yang tak mungkin ada di dunia nyata. Cyber-katarsis ini memungkinkan ‘onani’ identitas dan eksistensi yang melimpah-limpah namun semu. Pada tahap ini, memang keberadaan cyberspace seolah mengambil fungsi dari ruang publik yang dulu kita kenal. Namun karena wataknya yang bebas tanpa batas, selain membawa harapan, kehadirannya tentu mengundang juga kekhawatiran. Jika berangkat dari kekhawatiran, kita akan menemui sejumlah pemikir sosial yang menandaskan bahwa cyberspace telah menggiring kepada suatu kondisi ekstrim kematian sosial (Death of Social) (Piliang, 2005).

Pada tataran individu, cyberspace meniadakan perbedaan antar individu, di mana setiap orang dapat menjadi orang lain dalam waktu yang sama, yang secara mendasar berarti telah mencerabut identitasnya, menggantinya dengan diri yang terbelah (devided self). Selain itu, tidak adanya struktur otoritas dalam ruang maya ini, membuat kita semua bebas menggelontorkan pendapat, pernyataan, atau berbagai sombol-simbol lainnya. Terkadang, ruang publik inipun berubah menjadi ruang fitnah, caci maki, penipuan, penghinaan, dan banyak lagi. Tetapi pada titik lain, tentunya kita masih penuh harap seperti halnya Habermas dalam memandang hal tersebut. Bahwa ruang publik berpijak pada asumsi bahwa konsesus yang universal dan bebas dari dominasi adalah kehendak fundamental dari hubungan sosial. Dengan bahasa lain, kita dan barangkali habermas, berkeyakinan bahwa hubungan sosial yang efektif terjadi ketika masih adanya ruang publik yang kondusif dan bersih dari dominasi apapun. Inilah yang memungkinkan terciptanya masyarakat reflektif yang kita cita-citakan. Habermas mengandaikan bahwa konsesus semacam itu bisa dicapai dalam masyarakat yang reflektif (cerdas) yang mampu melaksanakan komunikasi secara memuaskan. Masyarakat reflektif ditandai dengan ruang publik yang terbuka, dapat diakses dan memungkinkan partisipasi publik yang luas. Berdasarkan kerangka habermesian tersebut, jejaring sosial menyediakan ruang-ruang ideal untuk komunikasi yang memuaskan macam itu: otentik, terbuka, dan demokratis. Karena itulah, setiap isu yang bergulir akan menjadi bulan-bulanan masyarakat cyberspace tanpa ampun dan tanpa batas. Namun, hal ini masih menyisakan problem kesahihan atau kebenaran. Sehingga terkadang ide atau pendapat yang dikemukakan berpotensi menjadi fitnah atau hinaan. Problem ini berangkat dari dunia citra yang dibangun secara artifisial yang memungkinkan orang untuk menipu ataupun memalsukan apapun yang disampaikan dalam dunia cyber. Di titik ini, kesahihan atau kejujuran dari masyarakat cyberspace menjadi problematis.

Problem kesahihan ini sebenarnya akan terselesaikan seiring meningkatnya kemampuan dan kesadaran masyarakat dalam menggunakan internet (e-literacy). Karakter terbuka dalam cyberspace memungkinkan tiap argumentasi yang dilontarkan terbuka terhadap segala kritik sehingga sebuah diskursus akan mendapat legitimasinya melalui proses kritik dan konsesus panjang yang dilaluinya secara terbuka. Setiap diskursus akan mendapat anti diskursusnya secara bebas. Setiap user yang sudah literatif (cerdas) akan mampu mencermati proses diskursif ini, menentukan mana yang abash dan jujur serta mana yang tidak, untuk kemudian mengambil keputusan tertentu. Jika kemampuan literatif tersebut sudah merata di kalangan user, maka sebenarnya telah tercipta ruang publik seperti yang di idealkan oleh Habermas. Sebagai tekhnologi, internet dengan cyberspace-nya adalah keniscayaan zaman yang tidak bisa ditolak, lengkap dengan petaka dan berkah yang dibawanya. Alih-alih terus mempersoalkan pornografi, kekerasan, alienasi dan berbagai dampak negatif cyberspace yang biasanya akan berujung kepada keletihan-keletihan gagasan, jauh lebih progresif kita mencari harapan-harapan apa yang bisa ditanam. Salah satu harapan itu adalah cyber-public spaces yang mensyaratkan adanya masyarakat yang literatif dalam mengarungi dunia cyber. Persoalan selanjutnya, selain mensyaratkan yang literatif, kondisi-kondisi apa lagi yang harus tercipta agar cyber-public spaces ini benar-benar menjadi berkah, bukan bencana? Jika hal itu sudah terwujud, pertanyaan mendasarnya, apakah keberadaan cyber public spaces ini memberi manfaat bagi kehidupan kita di dunia nyata? []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar