Rabu, 26 Juni 2013

Filsafat dan sebuah euforia kekonyolan

Bagaimana memulai keraguan tanpa sebuah pertanyaan?, ... dan kekonyolan akan selalu di akhiri oleh kekonyolan lainnya.

Di jaman sekarang, apa yang mesti kita puji dari seorang yang bersikukuh bahwa air adalah subtansi dari segala sesuatu, atau seorang filsuf lain yang menghabiskan hidupnya untuk melakukan permenungan, kemudian pada konklusi akhirnya menganggap hakekat manusia adalah sekedar materi; laku seksual; terlebih sebatas sebuah kehendak berkuasa. Hal tersebut lebih menyerupai kekonyolan, alih-alih sebuah hipotesis yang mampu menggetarkan saraf-saraf inteketual kita. Setidaknya hal tersebut sempat menyergap akal sehat saya: di era ketika segala sesuatu semudah menekan tombol, entah kenapa secara tak sadar saya menghabiskan beberapa hari sekedar untuk menjawab pertanyaan dari seorang teman, guna mencari korelasi antara orang buta dan eksistensi warna bagi dirinya. Bagaimanapun, itu adalah sebuah kekonyolan yang membuat saya sendiri merasa konyol. Nampak ada sebuah kegelisahan yang kemudian membuat manusia mulai mempertanyakan sesuatu. Hadirnya realitas dengan berbagai fenomena yang menggeiltik untuk dimengerti, sedangkan mitos dirasa tak lagi mampu menghadirkan jawaban-jawaban yang memuaskan, keresahan lantas hadir: manusia mulai bertanya tentang hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ditanyakan; tentang asal-usul alam, eksistensi Tuhan, bahkan hakikat kehidupan itu sendiri. Sejak saat itulah manusia mulai berfilsafat.

Kita semua sepakat, filsafat tidak lahir atas semangat optimistik dan kepastian yang mapan, ia nampak bergeliat dalam ruang gelap; meraba-raba, mencari titik pijak di atas berbagai keraguan. Ia tampil dengan raut pertanyaan yang kadang mengganggu akal sehat kita__saya sebut itu sebagai sebuah kekonyolan, yang pada hakekatnya kerap merindukan sebuah kebenaran; walaupun akan selalu berakhir menjadi kebenaran yang konyol tentunya. Kebenaran menjadi sesuatu yang diimpikan oleh filsafat dan menjadi bahan baku untuk menciptakan sebuah kebijaksanaan. Namun pada realitasnya, hadirnya kebenaran universal hampir menjadi utopis untuk kemudian dijadikan pakem nilai bersama, terlebih jika sekedar dogma moralitas (agama) yang dijadikan sandaran__mengingat agama memilki potensi direlatifkan dalam hal pemahamannya (multiinterpretasi). Konskuensinya, proses filsafat hanya mungkin dipahami sebagai sebuah proses panjang menciptakan sebuah ‘kebenaran’ (kekonyolan) yang selanjutkan akan dekonstruksi oleh ‘kebenaran’ (kekonyolan) yang lain, dan begitu selanjutnya. Hal tersebut jelas mengafirmasi tentang pentingnya kesiapan mental kita untuk menemukan cara kita berfilsafat, sebelum larut dalam kekonyolan-kekonyolan yang ditawarkannya, kecuali kita pasrah untuk turut menjadi konyol karenannya.

Cara Kita Berfilsafat Meskipun karya-karya filsafat sering misterius dan tidak dapat dimasuki, metode yang digunakan untuk menciptakannya sering benar-benar sederhana dan dapat dengan cepat dikuasai dan diangkut untuk menunjang pemikiran kita. Namun untuk banyak orang, filsafat tetaplah merupakan bongkahan-bongkahan teori yang alot dan membosankan. Itu semua bergantung dengan cara bagaimana kita mengenal filsafat. Berfikir secara rasional melibatkan pengerahan perangkat filosofis secara benar pada saat yang benar, maka munculah pisau cukur Ockham, Garpu Hume, atau perangkat lain dari kotak pemikir para filsuf. Amal jariyah terbesar dari filsuf-filsuf besar adalah alat-alat berfikir, metode dan pendekatan yang mereka ciptakan dan temukan yang sering hidup melampaui teori dan sistem yang mereka bangun, atau hal-hal yang mereka bongkar dengan alat itu. Sehingga kita tidak hanya berkutat dan terjebak pada apa yang filsuf besar pikirkan, melainkan juga memahami tentang bagaimana mereka berpikir. Hal tersebut jelas akan membuat kita tidak menjadi orang konyol dan sekedar pemulung ide-ide usang, terlebih hanya sebagai penghafal teori yang selalu gagap ketika harus menghadapi realitasnya sendiri. Mampu menerapkan tekhnik berfilsafat adalah sebuah sokongan besar dalam memahami suatu doktrin terbesar dari penganjur-penganjurnya. Seseorang tidak mesti mengetahui tekhnik bergitar untuk menikmati suara gitar, namun cara kita memahami teori filsafat sangatlah berbeda dengan kita menikmati musik. Sehingga berfilsafat jelas tak sekedar menghafal kekonyolan-kekonyolan yang diciptakan oleh filsuf, walaupun kita sepakat bahwa orang yang bersikeras mengajari orang buta (sejak lahir) tentang warna akan nampak lebih konyol dari semua itu.

Untuk orang yang masih memiliki mata yang waras, warna akan menjadi sesuatu yang setidaknya dikenal dan sangat gampang untuk diidentifikasi. Namun, akan menjadi sebuah ilusi bagi orang buta (sejak lahir), walaupun kita memaksanya untuk meyakini apa yang sebenarnya menjadi sesuatu yang sehari-hari kita lihat. Keawaman kita dalam menangkap atau sekedar meyakini sebuah kebenaran (dunia idea) akan sangat mewakili kesukaran orang buta terhadap warna. Hanya melalui cahaya filsafatlah, dengan berbagai kekonyolannya, sesuatu yang terlepas dari dunia forma (hakekat, subtansi, kebenaran ideal), akan sangat mudah kita raba, terlebih sekedar untuk meyakininya. Walaupun pada akhirnya, keyakinan orang buta terhadap warna tidak lantas membuat orang tersebut mampu melihat. Hingga kekonyolan terganti oleh kekonyolan lainnya, kebenaran akan menjadi ilusi dan gelap serupa dunia seorang yang buta. Pada akhirnya, marilah bersama kita merayakan kekonyolan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar