Rabu, 26 Juni 2013

Sastra dan Sebuah Kampanye kewarasan

Acara Bedah buku puisi dan cerpen, Istri tanpa cerulit dan sakarotul cinta yang ditulis oleh Bode ruswandi dan Kyai Matdon, kamis (27/9), bertempat di Aula Unswagati Cirebon, banyak mendapat apresiasi, khususnya oleh mahasiswa sastra dan bahasa Indonesia Unswagati cirebon. Acara yang digagas oleh komunitjavascript:void(0);as Rumah kertas, bekerja sama dengan HMJ DIKSATRASIA Unswagati, menghadirkan tiga pembedah, yakni Jimat Susilo, S.Pd., M.Pd., Bunyamin Faisal, S.S., M.P.d., (keduanya Dosen Sastra Unswagati), dan Fathan Mubarak (Pegiat Komunitas Rumah Kertas). Acara tersebut dibuka oleh pembacaan puisi oleh kiyai Matdon.

Apa yang dibacakan oleh Matdon barangkali tak sebatas sebuah puisi. Ia adalah indikator, potret, ataupun cerminan dari realitas. Sebuah gambaran dunia yang tumpang tindih antara kebaikan dan keburukan, halal dan haram, moralitas dan amoralitas. Bode Riswandi menyebutnya zaman yang menganut “anjingnisme holik”, Matdon menerjemahkannya sebagai zaman Sakarotul cinta. Sedangkan Fathan menjulukinya sebagai zaman yang sudah tak waras. Bagaimanapun merumuskannya, dunia kini memang nampak tengah mengkampanyekan ketakwarasan, irasionalitas, dan kebebalan.

Di sinilah sastra mendapat ruang yang signifikan sebagai potret dari realitas ketika sesuatu yang tak waras kini digandrungi, dianut, dan nampak wajar. Kenapa Matdon, kenapa Bode? setidaknya mereka orang-orang waras di tengah dunia yang tidak waras, kata Fathan. Ini seolah membenarkan apa yang dikatakan oleh F. Budi Hardiman. Ia menyebutnya peleburan kolektif: bahwa ketakwajaran akan mungkin bisa nampak wajar ketika sudah menjadi milik kolektif.

Ini lah era ketika kontradiktif menjadi trend, ambigu menjadi budaya, dan kebingungan menjadi buming. Sehingga dunia dengan segala persoalannya menjadi sesuatu yang rumit, serupa lukisan Tuhan yang gagal dan dibiarkan tergeletak di atas lantai. Namun, Walaupun ketiga pembedah memiliki tafsir yang berbeda, mereka membicarakan subtansi yang sama: Sebuah teks tentang perayaan ketakwajaran. Puisi dan cerpen dari kedua penulis tersebut dianggap berhasil menggambarkan ketidakwarasan yang terjadi dalam hidup. Teks-teks tersebut merupakan perayaan atas omong kosong, ketidak mungkinan dan berbagai hal lainnya yang seolah hanyalah imajinasi liar yang tak masuk akal, namun terjadi dalam realitas. Seperti yang dikemukakan Fathan, hidup memang dibangun dari satu nonsense ke nonsense berikutnya, dan kedua penulis tersebut, melalui karyanya, berhasil merangkum nonsense dengan indah dan memukau. Paling tidak, acara bedah buku tersebut, yang juga diramaikan oleh pembacaan puisi dan pementasan musik, adalah sebuah penegasan; Bahwa sastra bukanlah sebuah dagelan atau komoditas popular yang sekedar menjadi pelipur lara. Namun, sastra adalah bentuk perlawanan terhadap realitas yang absurd atau seperti yang diteriakan mereka bersama, sastra adalah sebuah kampanye kewarasan. Dan, dengan nada berbisik, kedua karya tersebut seolah mengajak kepada kita semua: Ayo, acungkanlah jari tengah untuk hidup ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar