Sabtu, 13 April 2013

Life of Pi: Sebuah Refleksi Keberagamaan

Life of Pi adalah sebuah Film, sekaligus kritikan halus terhadap keberagamaan kita.

Ia sama seperti kita, Piscine Molitor Patel yang akrab dipanggil Pi, tokoh utama di film yang di sutradarai oleh Ang Lee itu, adalah seoarang yang haus dengan kebenaran; Mempertanyakan banyak hal demi mendapatkan keyakinan yang utuh. Hingga secara sadar ia kemudian memutuskan sesuatu: Ia menjadi muslim, kristiani, budhis dan sedikit yahudi.

Pi barangkali adalah sebuah sindiran telak tentang laku keberagamaan kita. Ia secara polos memparodikan keyakinan buta manusia terhadap suatu dogma yang kadang tak sepenuhnya kita fahami. Keyakinan buta yang kemudian membuat kehidupan agama begitu rigid dan menggerahkan. Kita sepenuhnya tahu, keyakinan yang terlampau diteriakan toh akan sama buruknya dengan sebuah keraguan. Tengok saja, sejarah kehidupan agama, dari 14000 tahun yang lalu hingga sekarang, selalu diwarnai dengan darah dan luka: Fenomena intoleransi, diskriminasi, serta kekerasan berbasis agama dan keyakinan terus meningkat setiap tahun di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia: Upaya-upaya penutupan, perusakan rumah ibadat, pelabelan sesat terhadap suatu komunitas, serta jatuhnya korban nyawa dan harta benda menjadi headline media massa sepanjang waktu: Kekerasan terhadap Alqiyadah al Islamiyah di Padang, penutupan, pengerusakan dan penyerangan masjid dan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat, rencana pembumi-hangusan komunitas Suku Dayak Losarang, Indramayu, Jawa Barat, dan dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur adalah sedikit contohnya; Tentu daftar ini masih bisa diperpanjang jika mau .... Lantas kita bertanya, kemanakah agama yang konon adalah jalan keselamatan bagi umat manusia itu? Dalam hal ini, Ignatius tahu betul bahwa motif beragama tidak lain untuk menolong jiwa-jiwa: Membuat rasa pasti di tengah kehidupan yang absurd. Karena bagaimanapun agama mirip dengan seni: membantu kita hidup secara kreatif, damai dan bahkan gembira menghadapi realitas yang tak tentu.

Hal itu menegaskan kepada kita bahwa beragama tak sesederhana menyulut dupa, menggelar sajadah, ataupun berdo’a di Minggu pagi. Ada hal lain yang melampaui itu semua dan menuntut untuk kita pahami. Bagian inilah yang mungkin ingin disampaikan oleh Life of Pi. Film yang separuh durasinya menggambarkan Pi yang terombang-ombing di tengah laut adalah, menurut saya, sebuah alegori bagaimana kehidupan berlangsung: Dikisahkan bahwa kapal kargo milik jepang, Tsimsum, yang disewa oleh keluarga Pi untuk mengangkut hewan-hewan dari kebun binatang milik keluarganya, karam ketika terjadi badai. Dari semua orang, hanya Pi yang selamat. Di sinilah kemudian keimanan Pi pada Tuhan di uji: Harapan, ketakutan, penyesalan, lapar, haus, sakit, kerinduan, serta putus asa campur-aduk di tengah kondisi yang tidak pasti. Di sekujur adegan inilah kita disuguhi, selain visual yang indah dan menyentuh, sebuah pergolakan religius yang subtil. Bagaimana kemudian, dengan jujur dan rindu-penuh terhadap sang kuasa, agama diperlakukan sebagaimana mestinya: digambarkan bahwa Pi, dengan segala keadaannya yang mengancam, mampu menemukan ketenangan batin dan memanfaatkan keadaan tersebut untuk merefleksikan segala sesuatu dalam dirinya : “... Dan saat aku berada di luar harapan untuk selamat, Dia memberi ku untuk istirahat. Bahkan saat ia tampak acuh tak acuh pada penderitaanku, Dia hanya menyaksikan. Bahkan saat Tuhan sepertinya menelantarkan ku, Dia hanya menyaksikan. Dan memberi ku tanda untuk melanjutkan perjalanan,” Ungkap Pi.

Mirip dengan yang pernah dikatakan oleh Henri de Lubac, Sj., seorang teolog asal Perancis, bahwa setiap manusia memiliki panggilan dari Tuhan untuk memahami iman dengan benar. Mencintai Tuhan sebagai panggilan personal dalam sebuah panggilan besar dimana semua ciptaan berbagi dan mengarah pada Tuhan: Wahyu membimbing pada realisasi yang lebih dalam. Sehingga, ketaatan menjadi lebih dari sekedar persetujuan tetapi menjadi wujud tanggapan cinta (a return of love). Itulah yang terjadi dengan Pi: Di tengah kondisi yang mengancam—harimau lapar, badai yang kapan saja bisa datang, terpaan ombak laut, dan sebagainya, ia masih bisa berdialog dan berdamai dengan sekitar. Di tengah segala tekanan dan ketakutan, Pi tahu betul bagaimana menghayati dan memfungsikan diri melalui agama. Kian banyaknya laku kekerasan yang mengatasnamakan agama disinyalir akibat rendahnya penghayatan dan pemahaman terhadap agama itu sendiri. Pada akhirnya, agama tidak lagi menjadi alat menuju Tuhan, ia justru telah dipertuhankan oleh umatnya: Seolah-olah apapun bisa dilakukan jika diberi label agama (Absolutisme), merasa paling mewakili Tuhan (Eksklusifisme), dan berbagai dalih lain yang fanatik dan egois. Sehingga, ketiak agama selalu menjadi tempat nyaman untuk melindungi kemalasan dan kebodohan manusia: Agama sebatas memburu pahala dan obsesi hingga darah dan luka. Akhirnya, hakekat agamapun tak pernah tersentuh: cinta kasih (Kristen), kebijaksanaan (Conficous), kesederhanaan (Hindu-Budha), serta rakhmat bagi seluruh alam (Islam) ….

Sebuah Pencarian Tuhan

Jelaslah, ketaatan dalam agama butuh pemaknaan yang serius. Intens. Meminjam istilah dari Ulil, ia adalah organisme yang hidup di sepanjang lekuk perjalanan waktu, bukan sebuah monumen suci yang haram untuk di jamah hingga akhirnya menganggap agama adalah resep ampuh yang sudah jadi dari tuhan dan karenanya, bisa menyelesaikan segala persoalan dalam hidup. Ringkasnya: sebuah ketaatan yang dangkal. Padahal, menurut J Nadal, SJ., Ketaatan itu menyangkut tiga daya: kehendak, pengertian (intelect), dan pelaksanaan; dan proses menjadi taat melibatkan ketiganya: Ketaatan yang melulu melaksanakan perintah-perintah secara lahir adalah paling rendah dan sangat kurang sempurna. Bahkan ketaatan semacam ini tidak pantas disebut sebagai keutamaan. Ketaatan yang wajar meningkat ke taraf kedua, yang membuat kehendak Pembesar menjadi kehendak sendiri. Kecocokan antara kedua pihak haruslah sedemikian rupa sampai tidak hanya menghasilkan pelaksanaan secara lahir, melainkan juga kesetujuan dalam batin. Oleh kedua-duanya sama yang dikehendaki, sama yang ditolak.” Hal itulah yang dipraktekan oleh Pi dalam film tersebut. Ia tentu bukanlah orang yang malas, terlebih untuk keyakinannya sendiri. Tengok: Pi besar dalam lingkungan yang heterogen; ayahnya atheis; Ibunya religious; kakaknya agnostis; dan tetangganya memiliki agama yang berbeda-beda. Hal tersebut membuat Pi banyak bertanya dan belajar dari segala perbedaan; Merenungi dan kadang larut dalam pencariannya. Itulah kenapa barangkali, Nadal bersikeras tentang pentingnya ikhtiar yang ia sebut “kontemplasi dalam aksi”: Sebuah momentum untuk berproses bersama keyakinan kita sendiri: Perayaan atas fluktuasi keimanan, larut dalam kontestasi kesolehan dan kekafiran, mengais hikmah di simpang theis dan atheis, ataupun khusyuk dalam ingar-bingar politheis. Itu merupakan ikhtiar kebertuhanan yang sesungguhnya, hingga kita akan mengerti betul tiap jengkal keimanan kita. Jika itu semua dilakukan dengan jujur dan sepenuh-hati, meminjam kalimatnya Franciscus Suarez, … inspirasi Roh Kudus akan menggerakkan dan mencerahkan jiwa dengan aneka caranya yang tak terbatas. Karena memang agama adalah kesunyian masing-masing. Pergulatan, penghukuman, perang dan sebagainya memang harus terjadi, namun bukan di luar, tapi di dalam diri. Karenanya kontemplasi, permenungan, penghayatan, dan apapun istilahnya, adalah bagian dari sebuah pencarian. Hidup memang serupa bentangan laut: badai, riak ombak, panas, dingin dan ancaman lainnya adalah segala hal yang mesti kita arungi, walau tanpa kompas dan navigasi. Setelah itu kita yang memilih: Terus berlayar atau mati.

Sepertinya Pi di film yang diangkat dari novel berjudul sama, karangan Yann Martel ini, memilih untuk tidak mati. Ia memiliki kepercayaan diri. Kekuatan. Dan itu semua karena satu hal: keyakinan; iman. Dan dalam salah satu dialognya, Pi berkata, “Iman mirip sebuah kamar. Dan keraguan ada di setiap lantainya: keraguan harus ada, agar iman tetap hidup.” Seperti keberadaan harimau yang membuat Pi bisa bertahan di lautan: Tanpa Richard Parker (Harimau yang membuat dia takut dan ragu untuk berlayar), aku pasti sudah mati sekarang. Ketakutanku padanya membuatku waspada. Memenuhi kebutuhannya membuat hidupku fokus. Setelah itu, Pi akhirnya bisa selamat dan istirah. Inilah yang membuat kekerasan yang mengatasnamakan agama akan nampak menjadi perilaku yang bodoh alih-alih heroik dan suci. Kita tahu, permaslahaan radikalisme agama adalah kompleks dan tentunya sensistif. Karenanya, tak bisa selesai dengan satu-dua teori. Tetapi memulainya dari diri sendiri—penghayatan penuh-utuh terhadap agama kita masing-masing—adalah awal yang baik untuk memulainya. Seperti Pi, kita percaya bahwa setiap agama memiliki kebaikannya masing-masing: Terima kasih Vishnu, telah memperkenalkan aku kepada Kristus. Aku berasal melalui keyakinan Hindu, dan aku menemukan kasih Tuhan melalui Kristus. Tapi Tuhan belum selesai padaku. Tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Dan Dia memperkenalkan diri-Nya padaku lagi, kali ini dengan nama Allah…. Pi sadar, manusia tak akan pernah bisa memahami secara utuh-penuh tentang tuhan. Keterbatasan manusia tidak mungkin mengatasi hal yang tak terbatas. Di sinilah tercipta ruang toleransi: Kerendahan diri kita terhadap relatifitas pemahaman tentang Tuhan justru membuat klaim-klaim kebenaran sepihak menjadi tidak beralasan sama sekali.

Di sini Life Of Pi mengakhiri kisahnya dengan indah: Pi selamat dan sedang terbaring di rumah sakit. Dua orang jepang dari perusahaan kapal Tsimsum menemuinya untuk mencari informasi sebab karamnya kapal tersebut. Pi menceritakan hal yang diingatnya: Tentang harimau, heyna, pulau karnivora, zebra, orang utan, dan banyak hal yang menurut mereka irasional. Tentu mereka sulit mempercayainya. Setelah diminta, Pi akhirnya menceritakan kisah lain yang mereka mengerti. Kisah yang berbeda… mereka percaya, kemudian pulang. Tidak satupun dari kedua versi cerita tersebut bisa menjelaskan mengapa kapal tersebut tenggelam. Dan toh si tamu bule, seorang novelis yang berniat menulis kisahnya, harus memilih cerita mana yang lebih ia sukai: Dan tak ada yang dapat membuktikan cerita mana yang benar dan tidak. Kedua cerita itu, kapal tenggelam, keluargaku meninggal, dan aku menderita. Jadi mana kisah yg menurutmu menarik? “Yang ada harimaunya,” jawab novelis itu. Pi: “Seperti itulah yang terjadi dengan Tuhan.” Ada banyak cerita tentang-Nya. Hanya tinggal memilih mana yang menurut kita baik, walau kita tahu, tak pernah ada cerita yang sempurna.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar