Sabtu, 13 April 2013

Dead Poets Society dan Pendidikan Kita Hari Ini

“Kalian harus berusaha untuk menemukan suara kalian sendiri”

Kalimat tersebut saya kutip dari film yang saya tonton beberapa hari lalu berjudul Dead Poets Society. Film yang disutradarai oleh John Seale itu menceritakan tentang seorang guru sastra bernama John Keating yang diperankan secara wajar oleh Robin Williams. Ia di film tersebut, yang akrab dipanggil Captain, oh My Captain oleh murid-muridnya itu, dikisahkan sebagai pengajar yang memiliki cara yang unik dan kadang aneh ketika menyampaikan materi kepada murid-muridnya. Film ini sekilas mengingatkan kita tentang kekuatan puisi dan usaha untuk mendefinisikannya dalam kehidupan institusi pendidikan yang kaku dan membosankan. Tapi secara keseluruhan, film yang di produksi tahun 1989 ini tidak melulu berbicara tentang puisi atau sastra an sich, atau karenanya termasuk ke dalam golongan film yang sok filosofis dan cenderung melangit. Tidak! Film ini secara sederhana hanya ingin menjelaskan makna satu hal kepada kita: Manusia.

Salah satu yang menarik di film ini adalah bagaimana institusi pendidikan di anggap sebagai sesuatu yang bisa melupakan kita pada makna manusia dan tentunya kemanusiaan itu sendiri. Akademi Welton yang digambarkan di film tersebut sebagai sekolah unggulan, dengan semboyan empat pilarnya (tradition, honor, dicipline, excellence) dan mengklaim banyak mencetak orang-orang berkualitas dan sukses dalam karier ternyata memiliki permasalahan serius dalam proses pengajarannya: Metodenya yang kolot, kaku, dan menganggap murid-muridnya serupa robot yang harus dijejali oleh berbagai program supaya memiliki manfaat adalah pendidikan yang nampak tidak manusiawi. Mereka direduksi sedemikian rupa dalam satu homogenitas pencapaian tanpa memperhatikan keunikan dan kecenderungan masing-masing. Mempersetan minat dan bakat. Yang akhirnya, meminjam bahasa di film tersebut, hanya memproduksi lulusan-lulusan yang terpenjara dalam bingkai. Dalam satu adegan di film tersebut, John Keating menyuruh murid-muridnya mendekat dan kemudian mendengar dengan khidmat foto-foto alumni yang di pajang di lorong sekolah, kemudian ia berkata: .... mereka menunggu sampai semuanya terlambat... untuk menciptakan kehidupan mereka sampai sedetailnya dari apa yang mereka mampu? Tapi.... mereka terkurung dalam sebuah bingkai. Namun jika kamu perhatikan lebih dekat... Kamu akan dengar bisikan yang mereka tinggalkan untukmu. ... Dengar, kamu mendengarnya? ... “petiklah, petiklah hari”. Sebelum layu. Sebelum terlambat. Hingga kita sadar bahwa potensi kita tak dibatasi oleh apapun, termasuk kurikulum.

Tapi dead poet society tak kemudian selesai hanya menjadi sebuah film berdurasi sekitar 2 jam dan memiliki ending tanpa penyelesaian yang berarti. Semangatnya bergaung dan seperti mengugatan dengan keras sistem pendidikan kita hari ini. Tentu menjadi ironi sendiri, ketika kita masih percaya bahwa pendidikan bisa menjadi titik tolak untuk memperbaiki segalanya, di indonesia pendidikan kemudian ikut terpelintir kedalam kekacauan. Pendidikan kini hanyalah panggung bagaimana kebodohan dan kebebalan dipentas-meriahkan. Pendidikan yang lebih merayakan hasil ketimbang proses. Pada titik inilah pendidikan akan lepas dari kemanusiaan. Ia akan menjadi hal lain yang begitu asing dan mengasingkan—yang tidak akan menjadi apapun kecuali hafalan teori dan fosil-fosil ide tanpa kita mengerti untuk diapakan kecuali sekedar diingat. Padahal .... pendidikan adalah untuk belajar berpikir untuk diri sendiri. Sehingga kemanusiaan bahkan diri kita akan lenyap dalam proses pendidikan macam itu. Dan kita tak mesti kaget jika ternyata institusi pendidikan di Indonesia serupa akademi welton di film tersebut, bahkan lebih buruk. Seperti UN (Ujian Nasional) yang merupakan satu dari banyak sistem pendidikan di Indonesia yang kontroversial karena dianggap menciderai tujuan pendidikan. UN entah kenapa sampai sekarang masih dianggap sebagai cara ampuh untuk menakar kemampuan siswa, memukul rata, bahkan mengeneralkan keberhasilan pencapaian peserta didik melalui sederet nilai-nilai keramat.

Dehumanisasi Peserta Didik Melalui UN

Saya jadi ingat satu adegan yang mungkin terbaik di film tersebut: Ketika akan memulai pelajarannya tentang Memahami Puisi, John Keating menyuruh murid-muridnya merobek halaman pengantar yang ditulis oleh Dr. J. Evans Pritchard, Ph.D. “Sekarang, Saya ingin kalian merobek halaman tersebut... lakukan... robek halaman itu! Tidak ada lagi Mr. J. Evans Pritchard. Sekarang, kalian akan belajar kembali cara berpikir untuk diri kalian sendiri”. Dan begitulah ia memulai kelasnya. Barangkali John Keating sadar seutuhnya bahwa yang ia hadapi adalah manusia yang tentunya memiliki cara pandang dan kemampuan yang berbeda dalam memahami sesuatu. Ia tidak hendak secara kasar membatasi kemampuan anak didiknya oleh sebuah pakem tertentu. Ini jelas adalah sebuah pencerahan mengingat pendidikan kita nyaris serupa dunia industri: Produk pendidikan (peserta didik) akan mengalami sortir dengan berbagai tahap dan standarisasi yang dipatok oleh penguasa industri. Jika produk tersebut tidak sesuai dengan kualifikasi, maka akan di cap produk gagal (tidak lulus) dalam legitimasi lembaran kertas bernama ijazah. Sistem tersebut jelas mereduksi nilai-nilai kemanusiaan karena menganggap bahwa peserta didik adalah objek mati yang tidak mempunyai kehendak apapun. Pemikiran apapun. Keunikan setiap individu peserta didik sebagai manusia telah diabaikan mentah-mentah dengan logika pembendaan tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan proses dehumanisasi peserta didik.

Model soal pilihan ganda yang digunakan dalam UN juga telah mematikan unsur kreatifitas dan inisiatif peserta didik. Sebab peserta didik diharuskan memilih opsi-opsi jawaban yang sudah tersedia pada lembar jawabannya, tanpa diijinkan untuk mengembangkan daya kreasinya. Model soal pilihan ganda dengan jawaban pasti ini juga akhirnya menimbulkan budaya instan pada proses pembelajaran peserta didik, sehingga pendidik pun menyelenggarakan pembelajaran dengan model drilling yang menuntut peserta didik untuk sekedar menghapal jawaban-jawaban yang sudah pasti, tanpa harus memikirkan darimana datangnya jawaban tersebut.

Penyelenggaraan UN juga telah melecehkan kemerdekaan pendidik dalam berpikir dan berbuat. Pemerintah hanya seolah-olah saja berusaha menyenangkan hati para pendidik dengan pemberlakuan KTSP atau pembaharuan kurikulum yang pada prinsipnya membebaskan pendidik dan satuan pendidikan dalam penerapan kurikulum sesuai dengan keunikan potensi sekolah dan daerah masing-masing. Pasalnya, meskipun KTSP telah ditetapkan pemberlakuannya, pemerintah masih saja ingin menilai keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dengan UN yang jelas-jelas tidak saling bersinergi. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena penerapan KTSP antara masing-masing sekolah tentunya juga berbeda. Pada akhirnya, pendidiklah yang harus mengalah dengan mengikuti kemauan pemerintah yang telah menetapkan standar-standar tertentu atas pencapaian hasil belajar peserta didik melalui UN, jika mereka tidak ingin mendapatkan berbagai hukuman seperti vonis ‘tidak lulus’ maupun ‘sekolah tidak favorit’. Menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak . Hukuman yang dimaksud tentunya adalah stempel ‘tidak lulus’ dan ‘tidak dapat ijazah’. Terlebih lagi, berbagai tekanan terhadap peserta didik yang berlebihan tersebut dapat mengakibatkan peserta didik mengalami depresi berat bahkan sampai ada yang meninggal dunia . Inilah kenapa barangkali Dead Poets Society berakhir dengan cerita bunuh dirinya Neil Perry, salah satu murid dari John Keating yang sangat ingin menjadi aktor namun dilarang oleh orang tuanya. Film tersebut seperti secara lantang mengatakan bahwa kekerasan dalam proses pendidikan akan mengantarkan kedalam sebuah kematian, apapun bentuknya.

Selain itu, penilaian pencapaian kompetensi peserta didik melalui UN adalah praktek pengabaian kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik. UN jelas-jelas bertentangan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif dalam konstitusi . Padahal fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan . Bila seorang peserta didik yang tidak lulus UN dianggap ‘tidak cerdas’ secara kognitif, maka hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap keutuhan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh manusia.

Pada akhirnya, proses dehumanisasi peserta didik inilah yang digambarkan sebagai proses yang tidak memanusiakan peserta didik, sebab proses pendidikan adalah sesuatu yang intangible sehingga dengan adanya UN sebagai alat untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik, telah terjadi praktek reifikasi , yang digambarkan oleh Paulo Freire sebagai proses dehumanisasi . Pada titik inilah kita semakin sadar tentang perlunya pendidikan yang humanis. Pendidikan humanis tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi mengajak untuk menghayati, menyelami, serta memahami berbagai bentuk ekspresi ragam manusia. Oleh karena itu, dapat disebut tidak semata menyentuh intelektual, tetapi lebih jauh adalah sisi kemanusiaannya itu sendiri, baik dalam konteks individual maupun sosio-kultural. Dengan kata lain, pendidikan humanis bertujuan untuk pengangkatan manusia ke arah insani atau lebih tegas lagi “memanusiakan manusia” melalui sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan. Seperti puisi karya Whitman yang dibaca oleh John Keating dalam film itu, O saya, O hidup adalah pertanyaan. Yang berulang-ulang. Dari perjalanan tak berujung. Akan ketidak-setiaan. Dari kota yang berisi. Dengan kebodohan. Apa yang baik ditengah-tengahnya, O saya, O life. Bahwa kita di sini dan memiliki ciri khas. Bahwa sebuah kuasa sedang berlangsung, dan mungkin kita adalah peran utama. Kita tak sepenuhnya tahu bagaimana mengakhirinya. Tapi film tersebut memilih berakhir dengan sangat dingin dan meninggalkan banyak persoalan yang sejak awal dihadirkan. Barangkali, John Seale tak hendak membuat filmnya menjadi utopis dan klise, terlebih apa yang jadi permasalahannya adalah sistem dalam sebuah institusi; tidak mungkin bisa selesai dengan hanya kehadiran seorang John Keating. Tapi film tersebut semakin membuat kita yakin, ruang pendidikan tak dibatasi tembok kelas, kurikulum ataupun apapun, ia tak berbatas sama halnya dengan kemampuan berfikir manusia. Dan inilah yang membuat kata-kata John Keating bergaung di kepala kita semua: Kapan dan dimanapun kita sedang berfikir, pastikan... kalian harus menemukan suara kalian sendiri.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar