Sabtu, 13 April 2013

Kita, Parodi dan Iklan Politik

Seperti yang sudah lama kita sadari, politik hanya menjadi ruang permainan bagi segelintir orang. Akhirnya, orang miskin dan anak-anak muda seperti diharamkan untuk dekat-dekat dengan hal yang satu ini. Seolah tidak cukup ilmu dan energi untuk sekedar membicarakan tetek bengek yang berkaitan dengan dunia politik. Seolah-olah, kita yang muda hanya cukup masuk ke bilik suara, mencoblos, setelah itu, biar urusan politik lainnya kita serahkan kepada pada yang ahli. Tapi belakangan politik mirip sebuah parodi. Ini bukan hanya karena ada politisi yang berniat gantung diri di monas atau lainnya, tapi karena ternyata dunia politik sama tidak seriusnya dengan acara lawak. Dan di saat musim kampanye tiba, siap-siap, kita akan semakin terhibur-geli karenanya.

Tengok saja iklan-iklan politik mereka. Biasanya ada sepasang potret lugu dan satu baris kalimat sakti yang barangkali setingkat dengan mantra dukun: Coblos kumisnya, kami ada untuk rakyat, berantas korupsi, isyaallah kami bisa, dan lain sebagainya. Ini tentang iklan politik dan slogannya yang meyakinkan dan menjanjikan itu. Sepertinya beriklan sudah menjadi kebutuhan pokok tersendiri bagi dunia politik.

Jika itu benar, berarti musim politik adalah musim ketika pemilik media dan masyarakat menjadi penuh harap, pastinya untuk yang terakhir selalu dengan rasa cemas. Hal itu menegaskan apa yang pernah dikatakan Goenawan Mohammad: Soal paling serius dalam politik hari ini adalah harapan. Mengenai hal tersebut, mereka ‘calon pemimpin itu’ biasanya selalu punya yang satu ini: slogan yang menjanjikan dan kalo bisa terdengar sakti.

Barangkali memang yang paling krusial dari politik dewasa ini adalah bagaimana bisa membeli kepercayaan masyarakat dengan kata. Karena toh kemenangan dalam demokrasi adalah kemenangan jumlah suara pemilih. Tengoklah media hari ini, hal yang akan mudah Anda temukan selain iklan rokok dan iklan klinik kesehatan adalah tentu iklan politik: Seperti biasanya, selalu ada potret lugu dan sebaris slogan ajaib di sana. Ia bisa sebuah persuasif, janji, perkenalan, sering juga khayalan. Slogan menjadi hal penting dalam demokrasi. Prinsipnya, semakin meyakinkan sebuah slogan, semakin mungkinlah sang calon menjadi pemenang.

Tentu hal tersebut bukan tanpa sebab. Sejak reformasi bergulir di Indonesia, dunia politik mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud diantaranya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden, wakil rakyat (DPR) dan wakil daerah (DPD) yang dilakukan secara langsung. Hal ini membuka kesempatan bagi rakyat untuk memilih sendiri siapa pemimpin yang mereka kehendaki. Dalam proses tersebut, akan dipilih siapa pemimpin yang menurut rakyat paling kompeten dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bersama. Pada tahap inilah para calon dianggap perlu memperkenalkan diri kepada masyarakat. Spanduk, pamflet, Koran, televisi, internet dan media lainnya menjadi kebutuhan dalam ritus politik. Jika ingin dipilih oleh masyarakat, ia harus diingat dan karenanya ia juga harus beriklan. Sama seperti yang diutarakan oleh Heryanto (2008), dalam tulisannya berjudul “Perang Citra dan Literasi Politik”, kampanye politik menjadi instrumen yang memainkan peranan penting dalam memandu kesadaran khalayak pada sosok dan citra diri kandidat. Satu hal yang menarik yang pernah ditulis oleh T. Yulianto (2004) dalam artikel di harian Kompas berjudul “ Iklan Politik di Televisi”. Ia mengatakan bahwa iklan politik tidak berbeda dengan promosi produk. Hal tersebut seolah menjawab kegelisahan kita bersama. Karena memang pada kenyataannya iklan politik tak lebih realistis ketimbang iklan rokok. Tentu kita tahu bahwa iklan punya logikanya sendiri, termasuk iklan politik. Dalam bahasa Bau-drillard, iklan “mengubah peristiwa semu menjadi kejadian riil sehari-hari”. Pada iklan politik, tidak persis seperti itu karena “fakta” yang diinformasikan dalam iklan politik bisa merupakan dokumen, dalam arti fakta itu ada dalam kehidupannya. Akan tetapi, kebanyakan ,”fakta” dalam iklan politik adalah hasil rekaan. Berdasar skenario yang dibuat sedemikian rupa untuk satu kepentingan: pencitraan. Karenanya, di musim politik ini, mau tidak mau kita akan banyak melihat para calon melakukan “tugas”nya dengan “baik”: Berfoto dengan petani, menyapu jalan, bercakap dengan PKL (Pedagang Kaki Lima), membantu korban bencana dan tentu banyak lagi yang menjadi kebiasaan para calon pemimpin kita saat menjelang pemilu. Se-mulya apapun laku yang mereka lakukan, toh pada akhirnya kita sadar, ini semua hanya sebuah iklan.

Dalam perspektif iklan dan media, maraknya iklan politik yang bertebaran di ruang publik adalah dampak dari demokratisasi politik. Kemenangan politik adalah berarti kemenangan kesan. Citra. Sehingga para calon tentunya butuh eksistensi. Politik lantas menjadi sebuah pertarungan citra. Persis apa yang pernah dikatakan seorang pakar komunikasi Dedy Mulyana, bahwa para kandidat beriklan untuk menyatakan eksistensi diri mereka. Tanpa iklan, ia tak akan pernah diingat oleh calon pemilih. Ia akan dianggap tidak ada. Iklan dan politik pencitraan Dalam kaitan ini, Riyanto, Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra, lebih jauh menjelaskan bahwa iklan kampanye politik merupakan media komunikasi politik baru sejalan dinamika demokra-tisasi akibat cepatnya proses reformasi sejak lengsernya presiden Suharto. Di sini, media merupakan salah satu cara untuk melegitimasi eksistensi politisi untuk membangun citra positif menuju kekuasa-an yang lebih tinggi. Selain itu, citra politik yang kian buruk di mata masyarakat, terlebih dengan banyaknya politisi yang terjerat beragam kasus, kegiatan beriklan menjadi perlu. Ia adalah ruang bagi para calon untuk seolah-olah menegaskan kepada para pemilih: Saya berbeda dengan mereka, saya orang baik dan layak dipercaya, silakan pilih saya!. Hal ini mempertegas bahwa media tidak hanya sebagai sarana informasi dan edukasi kepada masyarakat, tetapi juga alat perjuangan atau ruang bagi para calon pemimpin untuk mengkomunikasikan segala visi-misi atau rencana program kerja mereka jika nanti terpilih. Dalam konteks komunikasi politik, hal tersebut tentu akan berdampak baik. Dalam mengamati fenomena iklan politik di Indonesia, Ardianto (2008,17) menjelaskan bahwa perang spanduk dan kampanye politik yang biasa dilakukan para kandidat baik melalui televisi, surat kabar lokal dan nasional umumnya lebih menjurus pada politics marketing, yaitu menjual ide daripada membangun image dan reputasi. Menurut Elvinaro, politics marketing hanya semata-mata bertujuan untuk menjual produk (selling product) bukan pada penguatan citra, kredibilitas atau kapasitas kandidat apakah layak jadi pemimpin daerah atau tidak. Arbi Sanit (Subinarto, 2008) mengemukakan, “lewat iklan politik masyarakat hanya diajak untuk memilih orang yang populer. Ini menjebak rakyat karena pemimpin tidak cukup bermodalkan popularitas, tetapi ia harus memiliki pengalaman dan terbukti teruji”. Di sini, iklan yang ditayangkan atau dibuat oleh para politisi dan kandidat untuk mendongkrak popularitas semata-mata adalah pencitraan semu. Hal ini tentu menjawab tentang fenomena artis yang terjun di kerjaan “menghimpun suara” ini. Karena minimal popularitas yang dimiliki seorang artis akan mempengaruhi kesan dan simpati pemilih. Walaupun pada akhirnya, syarat wajib yang menjadi patokan partai politik untuk mengusung calonnya adalah sebatas popularitas.

Pada sudut pandang inilah, ketika jalanan dan media dipenuh-sesaki oleh potret-potret lugu dengan slogan saktinya itu, saya hanya senyum-terhibur. Benar kata seoarang teman, dunia politik adalah dunia penuh drama yang kadang menarik walau lebih sering klise dan garing. Dan akhirnya, ada yang semestinya lebih harap-harap-cemas ketimbang masyarakat di setiap musim pemilu seperti sekarang: para aktor dan aktris. Karena bagaimanapun kita harus mengakui bakat akting yang dimiliki para calon pemimpin kita barangkali mengancam pekerjaan mereka. Dan kita yang masih muda yang barangkali juga alergi dengan politik tak mesti takut dan asing dengan politik, karena toh politik ternyata cukup menghibur. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar