Sabtu, 13 April 2013

Modernisme dan Kirab Tebu Manten

Beberapa hari yang lalu (6 April 2013) alun-alun Madukismo riuh-ramai: Pedagang makanan-minuman, deretan parkir kendaraan, dan arakan pengunjung memenuh-sesaki sekujur jalan menuju Pabrik Gula dan Pabrik Spirtus (PGSP) Madukismo, Jogjakarta. Seperti tahun yang lalu, untuk menyambut musim giling dan suling 2013, PGSP Madukismo yang berlokasi di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul itu kembali menyelenggarakan Upacara Kirab Tebu Manten atau dikenal juga dengan Cembengan. Karnaval, pasar malam, wayang golek, dan lainnya menjadi rangkaian acara guna memeriahkan ritual selamatan tersebut.

Sulit dipungkiri, acara yang diwarnai dengan pengorbanan kepala kerbau dan ritual pernikahan sembilan batang tebu tersebut merupakan laku ganjil di tengah kehidupan modern seperti sekarang. Saat kemajuan tekhnologi begitu dirasakan oleh manusia secara umum, entah kenapa adat istiadat macam itu masih dianggap krusial bagi sebagian masyarakat: Harapan lancarnya proses giling dan suling bukan dipenuhi dengan cara rasional seperti peremajaan mesin-mesin giling atau pelatihan keselamatan kerja untuk para pegawainya, namun dengan ritual irasional lengkap dengan liturgi dan bau kemenyannya. Barangkali, kirab tebu manten, yang merupakan salah satu budaya masyarakat jogja adalah suara minor bagaimana modernisme diperbincangkan dan diperlakukan oleh masyarakat—mereka nampak sadar betul bahwa khazanah masa lalu tidak lantas dilupakan walau kehidupan kini nyaris semudah menekan tombol.

Acara-acara sejenis itu adalah momen bagaimana kemanusiaan didikte hingga aras paling subtil: Menyimak kembali jejak kepercayaan pendahulu hingga menemukan hikmah paling kudus yang pernah ada. Dan di sini, modernisme yang konon mampu membawa manusia pada kemajuan, akan dipecundangi sebagaimana mestinya. Sebuah hal yang kontradiktif tentunya. Ketika dunia modern menawarkan penyelesaian dan rutinitas hidup yang rasional-ilmiah dengan berbagai temuan-temuannya, ritual-ritual magis macam itu masih menjadi agenda rutin oleh sebagian masyarakat.

Hadirnya dunia modern yang nyaris lengkap-utuh tak mampu mereduksi kehidupan masyarakat ke dalam angka dan data. Karena memang kehidupan telah hadir dengan segala kompleksitasnya. Dan ketika modernitas—rasio, teori, analisa, metode, dan sebagainya¬—nampak gagap untuk memahami segala permasalahan yang ada, maka manusia kemudian mencari sesuatu yang lain, yang tidak ditawarkan oleh dunia modern. Artinya, dalam menghadapi kehidupan yang kompleks ini, dimensi kemanusiaan (misalnya pertimbangan rasional) tidak mungkin menutup ruang keterbukaan atas keterlibatan dimensi batin; Kepercayaan; Mitos-mitos. Sebab kemodernan tidak hanya memunculkan kemudahan dan kenyamanan, tetapi juga menyodorkan krisis. Manusia modern mengalami krisis kehilangan transedental sebagai bagian dari krisis eksistensialnya. Pada bagian inilah, kebudayaan lokal bisa memberikan spiritualitas alternatif di tengah kerisauan menghadapi krisis yang ditimbulkan oleh kemodernan.

Mitos-mitos Modernisme

Sulit dipungkiri, dunia modern begitu banyak menawarkan kemudahan hidup. Temuan mutakhir dari berbagai bidang seperti tekhnologi, biologi, kimia, kesehatan, dan lainnya ikut memperbaiki kehidupan masyarakat pada umumnya. Tapi hal tersebut sama sulitnya untuk tidak mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak dimengerti oleh dunia modern. Sesuatu yang tak tertangkap oleh rasio, yakni spiritualitas. Hal ini membuat kita mengerti kenapa sebagian masyarakat kemudian, tak terkecuali barat yang mengklaim sebagai rasionalis sejati, beramai-ramai kembali melakoni laku esoterik (batiniah) yang sebelumnya dihina habis-habisan, seperti halnya tao, meditasi, yoga, dan sebagainya.

Paling tidak ini menjelaskan bahwa manusia, di tengah kompleksitas hidup, selalu membutuhkan ruang dan waktu yang khusus untuk merenung. Inilah yang dikatakan oleh budayawan jogja, Prie G.S disebut perenungan yang mendesak. Prie seolah meyakini bahwa silang sengkarut permasalahan masyarakat, setidaknya bisa diminimalisir jika kita memiliki satu ‘ruang’ yang intim untuk memaknai dan merenungkan segala peristiwa yang terjadi. Entah kita mesti setuju atau tidak, namun pada dasarnya, setiap fenomena masyarakat, mau tidak mau, akan menuntut sebuah pemaknaan. Pada titik kesadaran inilah kemudian spiritualitas seperti kepercayaan, mitos-mitos, adat istiadat dan sebagainya masih kita butuhkan hingga sekarang. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, pagelaran adat istiadat seperti misalnya kirab tebu manten mampu meminimalisir perilaku destruktif yang sekarang sering terjadi di negeri ini. Perampokan, pembunuhan, korupsi, suap, pemerkosaan dan lain sebagainya adalah imbas dari krisis spiritualitas sebagai akibat dari rasionalitas yang kebablasan; Kita seperti tercerabut dari khazanah lokalitas kita sendiri. Seiring derasnya pemasaran HP jenis terbaru—yang konon merupakan simbol dari kemajuan—manusia semakin mudah untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Dan di sinilah manusia akan secara sadar merindukan adat istiadat dengan ragam ritual yang sekalipun tak pernah kita mengerti sepenuhnya.

Sama seperti halnya saya dan sebagian masyarakat Madukismo, dunia modern tak pernah mengerti makna kirab tebu manten yang sudah menjadi agenda tahunan itu. Tebu yang dikawinkan, kebo yang dikorbankan, arak-arakan dan sebagainya adalah sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi disinilah kita akan menemukan persentuhan diri kita dengan yang lain: masyarakat, alam, dan tentu banyak hal lainnya. Sesuatu yang tidak pernah diberikan oleh teks dan hasil eksperimen di laboratorium manapun. Seperti pepatah budhis, setumpuk data yang diolah dengan baik sekalipun, hanya akan melahirkan pemahaman. Sementara penghayatan, sebagai puncak persentuhan manusia dengan dunia eksternalnya, hanya bisa didapat dari sebuah kerja bersama antara indra, pikiran, intuisi, dan perasaan. Dengan menggelar dan melestarikan kebudayaan lokal, narasi-narasi tak hanya dipelajari, melainkan diraba, diendus, dibaui, dan diselami hingga aras paling dasar. Hal itu berlaku bagi siapapun yang hendak mencecap aroma dan cita rasa desa, kota atau negeri yang kita akui sebagai rumah kita sendiri. Dan beginilah cara kita sebagai manusia yang berbudaya untuk menjadi manusia modern tanpa harus lesap ke dalamnya.

Upacara kirab tebu manten tahun ini, yang melibatkan ratusan warga dari berbagai desa sekitar, diakhiri dengan pertunjukan wayang kulit. Kecuali kerbau yang menjadi tumbal, semuanya berbahagia atas terselenggaranya acara tahunan tersebut. Dari tukang parkir, pedagang, panitia, peserta, dan pengunjung seperti mendapat untung dari acara tersebut, tentu dengan ragam bentuknya. Dan barangkali beginilah cara kerja adat istiadat: Sekalipun tak pernah dimengerti seutuhnya, selalu ada manfaatnya untuk kita. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar